Mahasiswa tak hanya mengemban tugas untuk belajar di kampus. Teori dan praktikum yang dipelajari sehari-hari juga harus bisa diartikulasikan untuk kepentingan publik. Salah satunya dengan melakukan pengabdian kepada masyarakat melalui KKN.
Oleh
·5 menit baca
Mahasiswa tidak hanya mengemban tugas untuk belajar di kampus. Teori-teori dan praktikum yang dipelajari sehari-hari juga harus bisa diartikulasikan untuk kepentingan publik. Salah satunya dengan melakukan pengabdian kepada masyarakat melalui kuliah kerja nyata.
Dari hasil jajak pendapat Kompas terhadap 646 mahasiswa di Indonesia, 78 persen mahasiswa menempuh studi di kampus yang mewajibkan program kuliah kerja nyata (KKN). Mayoritas dari jumlah tersebut (53,2 persen) sudah mengikuti program KKN.
Berbagi ilmu di tengah masyarakat menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi mahasiswa yang telah mengikuti KKN. Tinggal bersama liyan atau entitas masyarakat yang jauh berbeda dengan yang ada di lingkungan kampus selama berminggu-minggu meninggalkan kesan tak terlupakan. Berdasarkan jajak pendapat, setidaknya mahasiswa KKN dapat dikelompokkan berdasarkan kesan terdalam yang mereka rasakan selama KKN.
Kelompok pertama adalah mahasiswa yang paling terkesan pada pengamalan ilmu dan kerja-kerja yang dilakukan selama masa pengabdian (33,6 persen). Melalui KKN, mereka dapat menerapkan ilmu yang dipelajari selama ini (11,6 persen) dan berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat (23 persen).
Kelompok kedua adalah kelompok yang lebih menilai pengalamannya tinggal bersama masyarakat sebagai hal terpenting saat KKN. Sebanyak 45,2 persen mengaku dapat mengenal masyarakat lebih dalam saat KKN. Rutinitas di kampus yang relatif berada di daerah perkotaan tak ayal telah melahap waktu mahasiswa untuk mengenal masyarakat di tempat tinggal ataupun masyarakat secara umum. KKN menjadi kesempatan bagi mereka untuk kembali menjadi bagian dari masyarakat.
Terakhir adalah kelompok romantis yang cenderung mengingat KKN sebagai ajang untuk menikmati suasana perdesaan (10,5 persen) dan mendapat pacar atau teman baru (7,6 persen). Kelompok terakhir ini memanfaatkan karakter program KKN yang mutidisipliner, yaitu melibatkan beragam mahasiswa dari beragam jurusan. Sasaran KKN di daerah-daerah perdesaan juga tak pelak menjadi sebuah ”piknik colongan” bagi mahasiswa yang jenuh dengan nuansa perkotaan.
”Napak” sejarah
Program KKN merupakan pengejawantahan dari fungsi kampus untuk mengabdi kepada masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan, perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Fungsi tersebut dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi mewujud dalam lema Tridharma Perguruan Tinggi.
Pengabdian masyarakat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan sesuai dengan budaya akademik, keahlian, dan kondisi sosial budaya masyarakat. Dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sivitas akademika diharapkan dapat memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut catatan Kompas, Presiden Soeharto pada Februari 1972 menganjurkan adanya suatu program kemahasiswaan yang bertujuan untuk membantu pembangunan di desa-desa. Selain berguna untuk pengembangan desa, program ini juga diharapkan memberikan pengalaman kepada mahasiswa tentang masalah pembangunan daerah dan terbiasa pada pendekatan interdisipliner.
Kompas pada 18 Desember 1972 juga memberitakan 13 universitas negeri di Indonesia menyepakati KKN sebagai istilah yang merujuk pada kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat. KKN dilakukan oleh mahasiswa tingkat IV (sarjana muda) selama minimal enam bulan. Satu tahun kemudian, 13 universitas tersebut menerjunkan 431 mahasiswa untuk melaksanakan KKN.
Program KKN pun masuk sebagai salah satu capaian Repelita II. Dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1979, dilaporkan bahwa 21.300 mahasiswa telah mengikuti program KKN. Meski begitu, pengerahan mahasiswa untuk kegiatan kemasyarakatan sesungguhnya bukan gagasan baru. Pada 1951-1962, 1.500 mahasiswa dikerahkan untuk menjadi guru di sekolah-sekolah di luar jawa. Pada 1963, program Bimbingan Massal (Bimas) juga menyertakan mahasiswa di bidang pertanian (Kompas, 21 Januari 1974).
Kini, desa-desa sudah semakin maju. Ketimpangan mulai pudar antara desa dan kota. Dengan kemajuan teknologi, tidak hanya ABRI saja yang masuk desa, tetapi juga jaringan internet yang membuat dunia tanpa batas. Perbaikan infrastruktur, sarana, dan prasarana juga makin merata di desa-desa dengan Dana Desa. Kerja KKN yang lekat dengan membantu masyarakat mengaspal jalan, membangun gapura, membuat tanda arah, dan sebagainya mulai pudar.
Meski demikian, mayoritas responden (80,7 persen) tetap menganggap KKN masih relevan hingga saat ini. Dari jumlah tersebut, 11,6 persen bahkan mengatakan program ini sangat relevan. Sisanya, 15,3 menyatakan sudah tidak lagi relevan.
Dari pendapat tersebut, responden juga memberikan preferensi program yang saat ini dinilai lebih cocok dibandingkan dengan program yang sudah-sudah. Sebanyak 87,1 persen menyatakan program berbasis pemberdayaan dan pembelajaran lebih cocok untuk diimplementasikan di masa datang. Program pemberdayaan masyarakat adalah yang terbesar, yaitu 46,7 persen. Sementara program pembangunan infrastruktur masih diminati, tetapi hanya dipilih oleh 6 persen responden.
Dilihat dari latar belakang jurusan, baik mahasiswa jurusan ilmu alam maupun ilmu sosial, sama-sama melihat pemberdayaan masyarakat sebagai program yang paling cocok. Perbedaan hanya tampak pada kelompok terbesar kedua. Mahasiswa dari ilmu-ilmu alam lebih memilih program penyuluhan kesehatan ataupun pertanian (15,8 persen), sementara mahasiswa ilmu-ilmu sosial lebih memilih mengajar (18,9 persen).
Hampir setengah abad berselang, KKN masih mendapatkan respons yang baik pula dari masyarakat. Merujuk pada Jajak Pendapat Kompas yang terbit pada 12 Februari 2018, sebanyak 46,5 persen dari 574 responden mengharapkan mahasiswa mengabdi dan membagi ilmu kepada masyarakat. Sumbangsih seperti itu mendapat respons lebih besar daripada peran mahasiswa dalam mengontrol kebijakan pemerintah (27,2 persen).
Sayangnya, program KKN makin formal akademis dan cenderung diikuti untuk menyelesaikan pendidikan. Semangat mahasiswa untuk benar-benar memberikan pengabdian kepada masyarakat harus kembali dilahirkan dari dalam diri. (Arita Nugraheni/Litbang Kompas)