Sabtu, 17 Agustus 2019, bangsa Indonesia akan merayakan kemerdekaan ke-74. Proklamasi adalah momen yang tepat untuk berefleksi dan introspeksi.
Proklamator Soekarno-Mohammad Hatta, 17 Agustus 1945, mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan disebutnya sebagai gerbang menuju masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Tujuan kemerdekaan diterakan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian dunia dalam bingkai Pancasila.
Para founding father bangsa bersepakat mendesain Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi Pancasila. Kedua isu itu merupakan kesepakatan bangsa yang sudah final. Tidak perlu ada upaya mengotak-atik Pancasila.
Peringatan kemerdekaan merupakan momentum yang tepat untuk melihat sejauh mana tujuan berbangsa telah bisa dicapai. Sejauh mana kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial bisa diwujudkan para pemimpin bangsa. Sejauh mana negara mampu melindungi tumpah darah Indonesia dan rakyatnya.
Diskusi harian ini dengan University of Melbourne memberikan gambaran salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa adalah ketimpangan sosial. Ketimpangan antarwarga negara, ketimpangan spasial antara Jawa dan luar Jawa. Seperti dikutip Kompas, 26 Juli 2019, berdasarkan data Susenas 2000-2018, sebesar 30 persen total kekayaan nasional dimiliki 10 penduduk terkaya, sementara 40 persen penduduk Indonesia hanya memiliki 16 persen total kekayaan. Ketimpangan juga ditunjukkan dengan rasio gini bertahan pada angka 0,39 pada tahun 2018.
Data kuantitatif itu menandakan isu ketimpangan sosial adalah hal nyata. Ketimpangan sosial yang tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan ketidakpuasan sosial dan bisa mengancam eksistensi negara bangsa. Ketimpangan sosial merupakan pekerjaan rumah yang belum dirampungkan. Kondisi itu diperparah dengan masifnya korupsi di Indonesia. Sebanyak 34 persen responden survei Kompas menyebut korupsi adalah masalah besar bangsa.
Selain kesenjangan sosial dan korupsi, bangsa Indonesia pun dihadapkan pada gejala menguatnya sikap intoleran dan anti-kemajemukan. Nikmat kemerdekaan haruslah dimeratakan. Nikmat kemerdekaan bukan hanya untuk elite politik, melainkan untuk lebih dari 260 juta warga. Pembangunan bukan hanya difokuskan di Jawa, melainkan di pinggiran. Retorika membangun dari pinggiran yang disampaikan Presiden Joko Widodo adalah upaya memeratakan nikmat kemerdekaan.
Gagasan koperasi sebagaimana diterakan dalam Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya bisa dengan cepat diwujudkan melalui revolusi digital. Pemerintah bisa memfasilitasi perkembangan revolusi digital untuk mengurangi ketimpangan sosial. Kita dorong Presiden Jokowi lebih fokus memenuhi janji kemerdekaan, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, salah satunya dengan cara memerangi korupsi.