Remaja Garda Terdepan dalam Pencegahan Perkawinan Anak
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pencegahan perkawinan usia anak di Tanah Air harus melibatkan para remaja. Hal itu penting, karena kelompok muda bisa menjadi garda terdepan dalam menjangkau teman sebayanya dan memiliki hak untuk berpartisipasi yang dilindungi oleh undang-undang.
“Untuk itu, perlu mendorong partisipasi orang muda dalam berbagai upaya advokasi pencegahan perkawinan anak, serta mengumpulkan aspirasi-aspirasi dari orang muda dalam mendorong perubahan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,” ujar Evie Permata Sari, Presidium Jaringan AKSI, Rabu (14/8/2019) di Jakarta.
Jaringan AKSI (yang beranggotakan 38 lembaga swadaya masyarakat dengan fokus pada isu perlindungan anak, perempuan, dan kesetaraan jender), Rabu menggelar Diskusi Publik: Aksi Remaja dalam Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak. Diskusi menghadirkan sejumlah anak muda, seperti Suci Apriani (Ketua Kelompok Perlindungan Anak Desa Desa di Kediri), Fitri Ramadani (Sekolah Perempuan Muda di Sulawesi Selatan), Budi Santoso (Rumah Cerdas Perempuan), dan Rizqi Mahardika (Youth Coalition For Girls). Hadir juga sejumlah penanggap dari DPR, Koalisi Perempuan Indonesia, dan sejumlah lembaga.
“Jaringan AKSI percaya anak-anak dan orang muda bukan hanya terdampak oleh masalah, tetapi mereka juga merupakan solusi dari isu perkawinan anak,” ujar Evie.
Evie mengungkapkan, hingga kini angka perkawinan usia anak di Indonesia masih menempati posisi tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Padahal perkawinan usia anak itu selalu mendatangkan dampak buruk bagi anak, mereka kehilangan hak-haknya dan rentan mengalami kekerasan.
Sejauh ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong pencegahan perkawinan anak di Indonesia baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintahan dan individu. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPPA) sudah melakukan inisiatif untuk pencegahan perkawinan anak dengan menggandeng berbagai kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat.
Pada acara tersebut, para remaja mengungkapkan pengalaman mereka selama ini terlibat dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Fitri Ramadani misalnya mengungkapkan perkawinan anak ada dalam Tujuan 5 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Kalau ini diatasi maka tidak hanya pencapaian pada tujuan ini saja tetapi akan berdampak pada Tujuan 1, 2, 3, 4 dalam SDGs. Remaja juga harus dilibatkan dalam segala aspek karena salah satu prinsip SDGs adalah No One Left Behind dan anak remaja tidak boleh ditinggalkan,” papar Fitri.
Rizky Mahardika mengungkapkan Youth Coalition For Girls lahir dari keresahan para remaja terhadap fenomena perkawinan anak, yang berdampak pada anak perempuan. Perkawinan anak merenggut hak anak perempuan untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi terbaik, apalagi ketika menikah langsung memiliki anak.
Tidak hanya dalam pencegahan perkawinan anak, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise beberapa waktu lalu menyatakan pemerintah berkomitmen menjadi salah satu pelopor dalam implementasi Sustainable Development Goals 2030. Bahkan, partisipasi anak – anak dan remaja mendapat perhatian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
Menurut Yohana, sepanjang sejarah perjuangan rakyat Indonesia, kaum remaja telah memainkan peran aktif sebagai ujung tombak, membawa bangsa Indonesia menuju kebebasan, persatuan, dan integritas.
Oleh karena itu remaja seharusnya memiliki kesempatan untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan membuat rencana strategis bagi negara dan program – program terkait remaja.