Simbol Penting Nama Indonesia
”Nama ’Indonesia’ bagi kami adalah sebuah simbol keramat sebuah negeri yang di masa depan bakal merdeka” (Bung Hatta, 1927).
Adalah Mohammad Hatta, yang secara lugas menyampaikan gagasan tentang masa depan Indonesia saat memberikan kuliah dalam The International Holiday Course yang diselenggarakan oleh Liga Perempuan Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan tahun 1927 di Gland, Swiss. Dalam usia ke-25 tahun, Hatta bercerita tentang keelokan negeri Indonesia yang berkelindan dengan persoalan kolonialisme.
Bagi Hatta, Indonesia tak sebatas pengertian geografis. Dalam tulisannya yang khusus membahas tentang nama Indonesia dalam koran De Socialist pada 8 Desember 1928, Hatta menekankan, Indonesia adalah identitas yang tak mungkin dapat dihapus. Penyebabnya, di dalamnya termaktub tujuan politik, yaitu kemerdekaan Indonesia dari Indonesia (Indonesisch Indonesie).
Makna yang disampaikan Hatta menunjukkan perubahan sudut pandang terhadap kata Indonesia. Sebelumnya, hampir satu abad sebelum negeri ini merdeka, kata Indonesia digunakan ahli di Eropa dalam beragam pendekatan, baik etnologis maupun geografis. Penggunaannya untuk menyebut hal-hal berkaitan dengan gugusan kepulauan yang sempat dikenal dengan Hindia Timur Belanda (Dutch East Indies).
Kata Indonesia semula lebih dikenal untuk penyebutan lokasi geografis. James Richardson Logan, pegawai Pemerintahan Inggris di Penang (kini satu kota di Malaysia) pada 1850 menulis artikel ”The ethnology of the India Archipelago: Embracing Enquiries Into the Continental Relations of the Indo-Pacific Islanders” dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Logan menggunakan kata Indonesia dari pendekatan geografis untuk merujuk pulau-pulau atau Kepulauan Hindia.
Makna serupa disebutkan ahli etnografi asal Jerman, Adolf Bastian, yang menggunakan istilah Indonesia dalam bukunya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel pada 1884. Kata Indonesien yang digunakan Bastian juga merujuk pada pendekatan geografis, yaitu Kepulauan Nusantara.
Dari sisi etnologis, nama Indonesia disebut oleh etnolog asal Inggris, George Samuel Windsor Earl, pada 1850. Ia menggagas istilah Indunesians dan Melayu-nesians untuk menyebut penduduk di Kepulauan Hindia dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Namun, istilah Melayu-nesians dipilih karena Indunesians dinilai memiliki cakupan terlalu luas.
Pendekatan serupa dilakukan ahli antropologi asal Prancis, ET Hamy, tahun 1877. Ia menggunakan kata Indonesia untuk menjabarkan kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu di Kepulauan Indonesia.
Simbol identitas
Memasuki medio awal abad ke-20, penggunaan kata Indonesia perlahan bergeser. Nama Indonesia sebagai simbol identitas mulai sering digunakan. Pada November 1913, misalnya, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara melekatkan nama Indonesia sebagai identitas lembaga saat mendirikan Indonesische Persbureau atau Kantor Berita Indonesia di Den Haag, Belanda.
Hal senada dilakukan Indische Vereeniging, perkumpulan orang Indonesia di Belanda. Organisasi yang dibentuk tahun 1908 ini berubah menjadi Indonesische Vereeniging pada 1922. Tiga tahun berselang, organisasi itu berganti lagi menjadi Perhimpunan Indonesia.
Penggunaan nama Perhimpunan Indonesia menandai meluasnya arti kata Indonesia yang mulai dimaknai dalam konteks politik ketatanegaraan.
Penyebabnya, perubahan nama juga diikuti perubahan arah organisasi, yang sebelumnya bertujuan memajukan kepentingan orang Indonesia di Belanda, menjadi usaha untuk kemerdekaan Indonesia.
Tujuan kemerdekaan yang digaungkan tecermin pula dari perubahan nama majalah Hindia Poetra yang dimiliki Indonesische Vereeniging. Majalah ini berubah nama menjadi Indonesia Merdeka pada 1924. Nama Indonesia digunakan secara gamblang untuk merujuk satu tujuan: merdeka.
Di dalam negeri, nama Indonesia juga digunakan sebagai simbol pergerakan. Sejumlah organisasi muncul dengan memakai nama Indonesia, seperti Partai Nasional Indonesia (1927), Partai Indonesia (1931), hingga Gerakan Rakyat Indonesia (1937). Meski pendekatannya berbeda, organisasi yang lahir saat itu bertujuan sama: memerdekakan Indonesia.
Selain sebagai simbol pergerakan, kata Indonesia juga muncul dalam ranah persatuan. Konteks persatuan mulai terlihat saat diadakan Kongres Pemuda Indonesia I pada 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta. Tiga bulan berselang, lahir perhimpunan yang menyematkan nama Indonesia, yakni Jong Indonesia dengan tujuan mewujudkan cita-cita persatuan.
Konteks persatuan semakin terlihat dari diksi Tanah Air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia yang muncul dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Kata Indonesia juga dimaknai sebagai kesadaran berbangsa.
Lahirnya kesadaran sebagai sebuah bangsa akhirnya berbuah kemerdekaan pada 1945. Momen ini mengawali perjalanan Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state). Kata Indonesia tak lagi hanya dimaknai dari pendekatan etnologis, geografis, ataupun laras bahasa politis, tetapi juga sebagai negara seperti dicita-citakan oleh Hatta.
Cita-cita kolektif
Kemerdekaan Indonesia pada 1945 melahirkan konsensus bersama tentang tujuan bernegara. Tujuan ini tertera dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: melindungi bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa, hingga kontribusi pada ketertiban dunia.
Tujuan Indonesia sebagai negara turut disampaikan pendiri bangsa. Soekarno, dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, menyatakan, ”Tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka.”
Hatta pun memiliki cita-cita tentang Indonesia yang disinggungnya dalam pidato penerimaan gelar doctor honoris causa di Universitas Gadjah Mada, 27 November 1956. Bagi Hatta, Indonesia harus ”bersatu dan tidak terpisah-pisah, bebas dari penjajahan asing dalam rupa apa pun juga, politik maupun ideologi”.
Kini, memasuki 74 tahun usia kemerdekaan Indonesia, apakah mimpi Hatta itu telah terwujud?
(Litbang Kompas)