JAKARTA, KOMPAS — Analisa spasial Yayasan Auriga Nusantara menunjukkan Indonesia dapat menyelamatkan 59.791 hektar hutan pada area delapan konsesi perusahaan yang mendapatkan Perjanjian Karya Pertambangan Batubara atau PKP2B generasi pertama. Ini bisa terjadi apabila pemerintah dan DPR tak memaksakan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara di tahun ini.
Permasalahannya, pasal dalam revisi tersebut menghapus batas luasan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi seluas 15.000 hektar. Tanpa batasan, penguasaan konsesi tambang akan sangat besar. Padahal, Auriga menunjukkan selama bertahun-tahun kedelapan perusahaan batubara yang mendapatkan PKP2B tersebut hanya memanfaatkan 26 persen dari luas konsesi.
Peneliti Yayasan Auriga Nusantara Iqbal Damanik, Jumat (16/8/2019), di Jakarta, mengatakan revisi UU No 4 Tahun 1999 tentang Pertambangan Minerba akan memperparah penguasaan konsesi batubara. Ia menunjukkan pada draft revisi Pasal 169 yang isinya mengatur soal perubahan langsung IUPK tanpa melalui lelang, jangka waktu pengajuan permohonan IUPK Operasi Produksi, dan pengajuan permohonan di wilayah luar Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) Operasi Produksi.
Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Pertambangan Minerba akan memperparah penguasaan konsesi batubara
Ia mengatakan, sisipan pasal dalam RUU Minerba merupakan jalan pintas perpanjangan PKP2B yang akan berakhir masa berlakunya. Perubahan status kontrak langsung menjadi IUPK perpanjangan pada UU 4/1999 mewajibkan sejumlah prosedur dan lelang.
Direktur Tambang dan Energi Auriga Hendrik Siregar menambahkan lokasi tambang tersebut ada dalam Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Pemberian IUPK dalam WPN ini menurut UU seharusnya selektif dengan semangat konservasi. “Tidak serta merta mudah ditambah kalau tidak dalam kondisi butuh,” kata dia.
Kewajiban reklamasi
Hendrik pun berharap pemberian IUPK Operasi Produksi dilakukan dengan syarat perusahaan telah memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca tambang pemegang PKP2B dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Minimal, kata dia, perusahaan telah membayarkan jaminan reklamasi yang bisa digunakan untuk melakukan reklamasi.
Dalam analisa Auriga tersebut juga ditemukan sejumlah 5.901,93 hektar lubang bekas tambang pada areal konsesi yang berada di luar IPPKH. Lubang-lubang bekas tambang tersebut, kata Iqbal, dipastikan ilegal.
“Namun siapa yang menambang di situ, apakah perusahaan pemegang konsesi atau siapa, kami tidak tahu. Yang jelas, dalam UU, pemilik konsesi wajib menjaga dan melakukan perlindungan lingkungan dalam konsesinya,” kata dia.
Lebih lanjut, Hendrik mengatakan momen berakhirnya PKP2B bisa dimanfaatkan untuk menyelamatkan 169.107 hektar lahan konsesi (tanpa lubang tambang) karena dikembalikan kepada negara. Angka ini di luar 59.791 hektar area tutupan hutan. Iqbal menegaskan lahan dan areal berhutan ini bisa diselamatkan apabila luas IUPK Operasi Produksi tetap dibatasi 15.000 seperti dalam UU Minerba.
Momen berakhirnya PKP2B bisa dimanfaatkan untuk menyelamatkan 169.107 hektar lahan konsesi (tanpa lubang tambang) karena dikembalikan kepada negara
Ia mengatakan areal seluas 169.107 hektar tersebut bisa dimanfaatkan negara untuk tanah obyek reforma agraria yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah. “Jadi masalah ketimpangan lahan melalui pemberian TORA tercapai,” kata dia.
“Dengan negara konsisten menggunakan UU maksimal IUPK seluas 15.000 hektar jadi bisa jadi cara untuk selamatkan hutan,” kata Hendrik.
Lebih lanjut ia pun berharap pemerintah dalam menghadapi berakhirnya PKP2B kedelapan perusahaan tersebut tak menggunakan jurus pamungkas berupa Perppu. Ini karena sebagian anggota DPR masih belum merestui revisi UU Minerba.
Ia mengingatkan preseden serupa pernah terjadi melalui Perppu 1 tahun 2004 yang memberikan perizinan tambang di hutan lindung. Auriga berpendapat meski kedelapan perusahaan PKP2B tersebut menyuplai 60 persen produksi batubara Indonesia, namun orientasinya ekspor. Artinya, proses perubahan PKP2B menjadi IUPK tak akan mengganggu pasokan batubara domestik.
PKP2B kedelapan perusahaan tersebut ada yang telah berakhir 14 Januari 2019 (PT Tanito Harum) dan paling lama 26 April 2025 (PT Berau Coal). Penerima PKP2B lain, PT Arutmin Indonesia (berakhir 1 November 2020), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), dan PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023).
Pasal-pasal bermasalah
Terkait revisi RUU Minerba, awal Agustus lalu, sejumlah Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo. Mereka pun mendesak agar revisi tersebut tak buru-buru disahkan.
Mereka pun mempermasalahkan pasal-pasal dalam draft RUU Minerba maupun DIM pemerintah yang “bermasalah” karena tidak mencerminkan kedaulatan negara dan tata kelola yang baik. Beberapa keberatan tersebut antara lain penghilangan pasal pembatasan luas lahan maksimal dalam IUP dan IUPK operasi produksi, pengistimewaan terhadap Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pertambangan (KK/PKP2B) yang kontraknya akan habis untuk melakukan perpanjangan tanpa harus melalui lelang dengan luasan yang disesuaikan rencana kerja.
Aryanto Nugroho, Manajer Advokasi dan Pengembangan Program Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mempertanyakan langkah pemerintah yang buru-buru memproses revisi RUU Minerba di masa akhir periode pemerintahan. Padahal, desakan untuk merevisi UU Minerba telah ada sejak bertahun-tahun lalu, yaitu awalnya untuk menyesuaikan dengan UU Pemerintahan Daerah yang memotong kewenangan bupati dalam pemberian IUP.