Asumsi Makro Optimistis, Penerimaan Pajak Ditargetkan Tumbuh 13,3 Persen
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati tidak pernah mencapai target dalam 10 tahun terakhir, penerimaan pajak dalam Rancangan APBN 2020 kembali meningkat 13,3 persen menjadi Rp 927,5 triliun. Kenaikan target penerimaan pajak dinilai realistis seiring asumsi makro yang optimistis.
Dalam RAPBN 2020, asumsi dasar makro untuk pertumbuhan ekonomi ditetapkan 5,3 persen, inflasi 3,1 persen, nilai tukar Rp 14.400 per dollar AS, suku bunga surat perbendaharaan negara (SPN) 3 bulan 5,4 persen, harga minyak dunia 65 dollar AS per barel serta produksi minyak dan gas bumi masing-masing 734.000 per barel dan 1,19 juta per barel.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, target pertumbuhan pajak dihitung berdasarkan asumsi dasar ekonomi makro, terutama pertumbuhan ekonomi dan tingkat nflasi. Pergerakan asumsi dasar makro akan memengaruhi estimasi dan kapasitas pemerintah memungut pajak.
“Struktur APBN saat ini dalam kondisi asimetrik, penerimaan negara adalah proyeksi sementara belanja negara itu komitmen,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, risiko masih membayangi target penerimaan pajak tahun 2020, terutama akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi global dan perdagangan internasional. Perekonomian dalam negeri sulit terakselerasi karena kinerja ekspor bisa tumbuh negatif dan kemungkinan terjadi resesi global.
Risiko masih membayangi target penerimaan pajak tahun 2020, terutama akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi global dan perdagangan internasional
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, penerimaan pajak tidak pernah mencapai target dalam 10 tahun terakhir sejak 2009. Pertumbuhan penerimaan pajak bahkan melemah kendati secara nominal masih bertambah. Realisasi penerimaan pajak tahun 2018 sebesar Rp 1.344,1 triliun atau sekitar 92,41 persen dari target APBN.
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan pajak tahun 2020 difokuskan pada peningkatan kepatuhan wajib pajak, perbaikan kualitas layanan dan penguatan sistem teknologi informasi, perbaikan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), implementasi keterbukaan informasi perpajakan (AEoI), serta penyetaraan level playing field dunia usaha.
Adapun target pendapatan negara dalam Rancangan APBN 2020 ditetapkan Rp 2.221,5 triliun, sementara belanja negara Rp 2.030,8 triliun. Dari postur Rancangan APBN 2020 itu, defisit anggaran diperkirakan sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen produk domestik bruto (PDB) serta defisit kesimbangan primer Rp 12 triliun.
“Instrumen APBN akan fleksibel dengan tetap dijaga hati-hati dan sehat,” kata Sri Mulyani.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman berpendapat, kebijakan fiskal yang eskpansif tahun 2020 diperlukan, tetapi harus tepat sasaran. Misalnya, melalui penguatan dan perbaikan rasio pajak. Rasio pajak pada 2020 ditargetkan 11,5 persen PDB.
Menurut Rizal, defisit APBN 2020 dipatok 1,76 persen PDB untuk menumbuhkan optimisme pasar. Namun, pemerintah tetap harus mendorong sisi permintaan dan penawaran lebih kuat. Jika daya dorong terhadap konsumsi lebih kuat dibandingkan produksi, target-target pemerintah sulit tercapai. Terlebih hambatan kian besar akibat gejolak ekonomi global yang sulit dikendalikan.
Insentif pajak
Sri Mulyani menuturkan, penerimaan pajak juga menjadi instrumen untuk mendukung investasi dan daya saing melalui pemberian insentif fiskal. Pada 2020, pemerintah akan menerbitkan beberapa insetif fiskal baru, antara lain pengurangan pajak penghasilan (PPh) di atas 100 persen atau super deduction tax untuk kegiatan vokasi dan penelitian.
Selain itu, ada pembebasan PPh untuk nilai investasi baru maksimal Rp 500 miliar atau mini tax holiday, keringan potongan pajak investasi atau investment allowance tax untuk industri padat karya, serta PPh ditanggung pemerintahb (DTP) untuk sektor panas bumi dan PPh surat berharga negara valuta asing.
“Kebijakan perpajakan jadi salah satu faktor untuk meningkatkan daya saing Indonesia,” kata Sri Mulyani.
Dukungan perpajakan terhadap iklim usaha tercermin pada kebijakan belanja perpajakan (tax expenditure). Pada 2016-2018, besaran belanja pajak berkisar Rp 192,6 triliun-Rp 221,1 triliun atau sekitar 1,5 persen PDB. Belanja pajak sebagian besar diberikan dalam bentuk tax holiday dan tax allowance.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo menyoroti kinerja APBN semester I-2019 yang tidak lebih baik dari semester I-2018. Pertumbuhan kinerja perpajakan yang melemah, sementara belanja pemerintah tetap ekspansif menyebabkan defisit APBN 2019 melebar dari tahun lalu.
“Pemerintah perlu melakukan tindakan afirmatif dari sisi fiskal maupun moneter untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi tahun 2020,” kata Bambang.