Bangkok, Surga Kuliner di Malam Hari
Saban matahari terbenam, Ibu Kota Thailand, Bangkok, menjelma menjadi surga kuliner. Di berbagai pasar malam, aneka masakan asal Negeri Gajah Putih, siap memanjakan indera pengecap pembelinya. Jika Anda menyukai tantangan, jangan lewatkan berbagai kudapan ekstrem seperti ulat bambu dan kalajengking goreng!
Saat berkunjung ke Bangkok, sebuah pesan singkat dari Ohm Sarapong, seorang kawan asal Thailand, masuk di ponsel saya pada Minggu (4/8/2019) siang.
”Saya akan membawamu ke salah satu pasar malam terbesar di Bangkok,” ujarnya.
Pasar malam yang dimaksud Ohm ialah Talad Rod Fai Train Night Market, sebuah pasar di lapangan terbuka yang berlokasi di Srinakarin Road Soi 51.
Bangkok memang terkenal dengan pasar malamnya. Pasar malam bahkan telah menjadi rujukan bagi wisatawan. Selain Rod Fai Train Night Market, ada pula Asiatique, Chang Chui Bangkok Plane Market, JJ Green, serta Patpong.
Keberadaan pasar-pasar malam tersebut menawarkan atmosfer yang berbeda dibandingkan dengan pusat perbelanjaan modern yang makin menjamur di Bangkok.
Rod Fai Train Night Market
Untuk mencapai Rod Fai Train Night Market, tak ada transportasi umum yang langsung berhenti di sana, kecuali taksi. Untuk menghindari kemacetan Bangkok, saya pun terlebih dulu naik skytrain (Bangkok Mass Transit System/BTS) dari kawasan Pratunam menuju Stasiun BTS Udom Suk.
Dari stasiun itu, jarak menuju Rod Fai masih sekitar 9 kilometer lagi sehingga perjalanan harus dilanjutkan dengan menumpangi taksi.
Di pasar yang beroperasi Kamis hingga Minggu itu, terdapat lebih dari 2.000 stan yang menjajakan berbagai barang antik, busana, mainan action figure, dan tentunya kudapan yang menggugah selera. Pengunjung bisa mulai menyambangi tempat ini sejak pukul 17.00-00.00.
Pukul 19.30 malam itu, Rod Fai sudah dipadati pengunjung. Padahal, sore harinya, Bangkok diguyur hujan. Meski sudah reda, cuaca pada malam itu diramalkan akan kembali hujan. Namun, ramalan tersebut tak menghalangi wisatawan ataupun warga lokal berkunjung ke sana.
Baru saja memasuki gerbang, pengunjung sudah disuguhi dengan deretan restoran modern, kafe, dan bar. Akan tetapi, petualangan wisata kuliner sesungguhnya berada di tengah-tengah Rod Fai. Tenda-tenda di bagian tengah berjajar menjajakan makanan. Buah segar, jus, kue tradisional, ayam goreng bisa dibeli dengan harga terjangkau, mulai dari 10 baht (sekitar Rp 4.600).
Kepulan asap dari daging panggang menimbulkan wangi yang mengundang kami untuk menyantapnya. Umumnya, daging sapi, ayam, atau babi yang dipanggang dijual dalam kondisi ditusuk seperti satai. Namun, ukuran dagingnya lebih besar daripada satai di Indonesia.
Selain itu, ada pula kue tradisional yang disebut kanom buang. Kue tersebut berwujud seperti kue leker dengan ukuran mini. Sang penjual menjelaskan, tepungnya terbuat dari kulit telur yang telah dihancurkan, tepung kacang hijau, dan tepung beras.
”Ketiga tepung dicampur telur, gula palem, bubuk cokelat, air jeruk nipis, dan garam,” kata si penjual.
Baca juga: Menikmati Gemerlap Kota Makau
Menurut Ohm, ada makanan yang wajib dicoba jika berkunjung ke Bangkok, yakni serangga goreng. Ia pun mengarahkan saya–lebih tepatnya memaksa saya–mencoba ulat bambu goreng. Menu tersebut merupakan camilan yang umum disantap di Thailand.
Dalam proses memasaknya, ulat bambu digoreng hingga renyah. Sajian itu dipercaya mengandung protein tinggi untuk menjaga kesehatan tubuh. Tak disangka, saya bisa menikmati kudapan yang rasanya gurih dan asin itu.
Chinatown
Destinasi yang juga menawarkan aneka jajanan adalah Chinatown. Mulai pagi hingga sore hari, Chinatown ramai dikunjungi karena ketenaran kuil-kuilnya, yakni Wat Traimit dan Wat Mangkol Kamalawat. Tak hanya itu, Chinatown juga dikenal sebagai tempat perdagangan emas dan produk herbal.
Siang berubah malam, Chinatown semakin sibuk saja. Seiring tutupnya tokoh-toko di sana, pelataran toko berubah menjadi kawasan wisata kuliner.
Pedagang kaki lima berjajar sekitar 1 kilometer panjangnya atau sepanjang Jalan Yaowarat. Selain itu, terdapat pula kedai lengkap dengan menu berbahasa Inggris yang ramai didatangi pengunjung.
Ratusan orang mengantre di depan kedai dan kursi plastik yang selalu penuh diduduki pengunjung menjadi pemandangan yang lumrah dijumpai ketika menyambangi Chinatown. Rasanya, kunci untuk menikmati petualangan di Chinatown ini adalah sabar mengantre!
Baca juga: Dosa dan Cinta di Los Vegas
Meski kebanyakan masakan dijual pedagang kaki lima, beberapa di antaranya telah direkomendasikan buku peringkat hotel dan restoran Michelin Guide. Salah satunya adalah Pa Tong Go Savoey yang menyajikan kudapan lokal yang disebut patongo atau di Indonesia umum dengan sebutan cakwe.
Meski kebanyakan masakan dijual pedagang kaki lima, beberapa di antaranya telah direkomendasikan buku peringkat hotel dan restoran Michelin Guide.
Walaupun hanya dijajakan di sebuah gerobak, antrean bisa mengular hingga lebih dari 20 meter. Saya pun ikut mengantre pada Rabu (7/8/2019) malam. Yang unik dari cakwe ini, pembeli bisa memesan patongo yang digoreng hingga renyah atau dipanggang. Kemudian, celupkan camilan itu ke saus kelapa pandan atau susu kental.
Di seberang gerobak ini, tampak sebuah antrean panjang lainnya yang meluber ke jalan. Rupanya orang-orang sedang menunggu giliran membeli roti gulung bakar dari ”Yaowarat Toast”. Menurut laman Michelin Guide, roti gulung bakar ini menjadi menu yang wajib dikunjungi pencinta kuliner, meski harus rela mengantre sekitar 20 menit.
”Bayangkan kenikmatan roti gulung bakar yang hangat dipadukan selai jeli. Pencinta kuliner yang gemar masakan manis, pesanlah roti isi pandan atau susu,” tulis Veronica Inveen, kontributor untuk laman Michelin Guide.
Tentu masih banyak jajanan lainnya yang juga direkomendasikan buku peringkat hotel dan restoran itu. Namun, di luar itu, masakan yang tak memperoleh rekomendasi tersebut tak kalah lezat untuk dicoba.
Chinatown juga menawarkan aneka buah segar lokal maupun impor, seafood, hingga kuliner ekstrem.
Baca juga: Wajah Lama Kota Lima
Sebagai penutup wisata kuliner malam itu, Ohm yang setia mengantar saya keliling Bangkok, kembali menantang saya mencicipi kuliner ekstrem. Kali ini ia berujar, ”Setelah berhasil mencoba ulat bambu, artinya sudah waktunya makan kalajengking goreng!”
Ia pun meyakinkan bahwa kalajengking yang telah diproses untuk dimakan sudah dipastikan tidak beracun. Tak bisa mengelak, saya pun menggigit bagian ekor kalajengking goreng. Beberapa turis, kelihatannya dari Eropa, mengerubungi saya dan menanyakan bagaimana rasanya.
”Rasanya seperti kepiting,” kata saya kepada mereka. Ada yang berani coba juga?