Pesta Rakyat ”Dongdang”, Memaknai Kemerdekaan dengan Rasa Syukur
Masyarakat Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, menggelar pesta rakyat ”dongdang” pada Sabtu (17/8/2019) untuk memperingati ulang tahun ke-74 Republik Indonesia.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS — Menyambut peringatan ulang tahun ke-74 Republik Indonesia, masyarakat Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, menggelar pesta rakyat pada Sabtu (17/8/2019). Kegiatan ini sebagai simbol sukacita dan syukur warga atas berkat melimpah yang boleh diterima dari bumi pertiwi.
Pesta rakyat hajat bumi atau dongdang menjadi agenda rutin yang diadakan setiap tahun di Kecamatan Wanayasa. Dongdang dalam bahasa Sunda bermakna sebagai tempat atau wadah untuk meletakkan barang yang ditata dan dihias. Biasanya, dongdang dibawa dengan cara dipikul pada empat sudut oleh sejumlah orang.
Seiring dengan berjalannya waktu, dongdang tidak lagi dipikul, tetapi diarak menggunakan mobil bak terbuka berhias warna-warni. Beragam kuliner khas, hasil bumi, dan produk kerajinan yang dimiliki setiap desa tampil apik sepanjang jalan utama dekat Alun-alun Wanayasa.
Tahun ini, tema yang diambil adalah menonjolkan keberagaman daerah. Tak hanya itu, isu sosial yang sedang menjadi tren juga dimasukkan ke dalam pawai.
Tampak sejumlah desa menampilkan dongdang yang berhiaskan awug raksasa. Awug adalah makanan tradisional khas Sunda yang terbuat dari campuran tepung beras, kelapa, daun pandan, dan gula jawa yang dikukus dalam aseupan (kukusan yang berbentuk tumpeng terbuat dari anyaman bambu).
Dulu, kue tersebut disajikan petani di daerah Jawa Barat saat panen telah usai. Petani membuat kue itu sebagai bentuk rasa syukur atas melimpahnya panen.
Ada pula dongdang yang berhiaskan alat-alat untuk bersawah, antara lain caping dan cangkul. Tak ketinggalan, gabah padi menguning juga menjadi hiasan yang sekaligus menjadi tanda kehadiran Nyi Pohaci. Bahkan, produk olahan lainnya dari beras juga mempercantik dongdang, antara lain rengginang, simping, dan karak beras.
Nyi Pohaci adalah nama penghormatan untuk padi bagi masyarakat Sunda, seperti Dewi Sri dalam budaya Jawa. Pawai hasil bumi dengan gabah padi menguning dan alat untuk bersawah menjadi cara menghargai padi dalam kehidupan sehari-hari.
Camat Wanayasa Jaya Pranolo mengatakan, kegiatan ini sudah ada sejak tahun 1951 dan berperan sebagai upaya mengguyubkan warga dari sejumlah desa. Momen ini tak hanya dinanti warga lokal, tetapi juga wisatawan. Bahkan, warga yang merantau jauh ke luar Purwakarta akan rela mudik ke Wanayasa demi menyaksikan pesta rakyat ini.
”Masyarakat bersukacita menyambut perayaan kemerdekaan dengan menyajikan berbagai hasil bumi yang mereka tanam. Tradisi ini harus dilestarikan dan semoga dapat menjadi ajang untuk berkumpul bersama dalam mensyukuri segala perbedaan,” tutur Jaya.
Antusiasme masyarakat
Ribuan warga memadati area arak-arakan di sepanjang jalan utama Kecamatan Wanayasa. Meski matahari begitu terik, mereka tetap antusias menyaksikan pawai tersebut. Tak jarang aksi peserta pawai yang nyeleneh dan unik mengundang gelak tawa warga.
Atik (45), warga Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa, rutin datang ke pesta rakyat ini untuk menyaksikan arak-arakan dongdang. Dulu, katanya, para sesepuh giat mendorong masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan ini.
”Mereka mengatakan, tradisi ini harus dilestarikan sampai kapan pun seiring berkembangnya zaman. Bentuk partisipasinya dengan menjadi penonton,” ujarnya sambil tersenyum.
Tak hanya Atik yang menikmati pesta rakyat itu. Asep (40), warga Kecamatan Wanayasa, secara khusus pulang dari rantau untuk menyaksikan arak-arakan tersebut.
”Tradisi ini selalu bikin kangen. Saat hari kemerdekaan, pasti Wanayasa selalu guyub warganya. Saya bersyukur bisa menjadi bagian di dalamnya,” kata Asep.
Tradisi ini selalu bikin kangen. Saat hari kemerdekaan, pasti Wanayasa selalu guyub warganya. Saya bersyukur bisa menjadi bagian di dalamnya.
Pesta rakyat ini juga diharapkan dapat meningkatkan jumlah wisatawan. Menurut Jaya, setiap hari rata-rata ada sekitar 500 orang yang berwisata di Wanayasa. Kegiatan tersebut diharapkan mampu menarik setidaknya lima kali dari jumlah harian.
Tak hanya itu, warga sekitar turut merasakan dampak ekonomi yang baik, misalnya tempat parkir dadakan, jualan minuman dan makanan, serta lapak hasil kerajinan.