Rengasdengklok dan Spirit Nasionalisme Kaum Muda
Peristiwa Rengasdengklok, 74 tahun silam, menjadi salah satu fragmen penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Merawat memori Rengasdengklok, bisa jadi modal untuk memupuk kembali nasionalisme, khususnya di kalangan kaum muda.
Rumah kayu bercat hijau di RT 001/RW 09 Dusun Kalijaya, Rengasdengklok, Karawang, masih berdiri kokoh sekalipun sudah berusia hampir seratus tahun. Di rumah itu, 74 tahun silam, salah satu fragmen penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, terjadi.
Tidak sulit untuk menemukan rumah yang pernah dijadikan tempat tinggal Soekarno beserta istri dan anaknya, Fatmawati dan Guntur, dan Hatta, saat “diculik” kelompok pemuda, 16 Agustus 1945 atau sehari sebelum proklamasi kemerdekaan.
Rambu-rambu penunjuk arah yang terpasang di persimpangan-persimpangan jalan di Karawang, memudahkan perjalanan menuju rumah tersebut. Ditambah lagi, sejarah 74 tahun silam masih melekat di memori masyarakat. Mereka tak kesulitan untuk menunjukkan arah ke rumah yang sarat sejarah tersebut.
Memasuki ruas jalan menuju rumah, kian jelas lokasi yang dituju sudah dekat. Mural sejumlah tokoh pemuda “penculik” Soekarno-Hatta, menghiasi salah satu dinding sebelum tiba di Rumah Sejarah Rengasdengklok. Mural Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana menonjol dengan latar cat dinding berwarna merah-putih.
Berjarak sekitar 80 kilometer dari Ibu Kota, perjalanan dengan mobil menghabiskan waktu, dua hingga tiga jam.
Di dalam rumah, jejak Soekarno dan Hatta coba dilestarikan dengan memajang foto-foto kedua tokoh itu. Di ruang tamu ataupun di kedua kamar tempat tidur Soekarno dan Hatta. Di setiap kamar, masih terlihat pula tempat mereka tidur saat tinggal di sana.
Rumah milik Djiauw Kie Song itu, dirawat turun-temurun oleh penerusnya. Saat ini, cucu Djiauw Kie Song yang merawatnya. Namun semula, rumah tak berada di lokasi yang ada sekarang.
"Kakek mendirikan rumah ini tahun 1920. Awalnya, rumah berada di tepian Sungai Citarum. Namun, pada tahun 1957, kakek memutuskan memindahkan rumah, karena lokasi sebelumnya sering kena banjir Sungai Citarum," tutur Lanny (70), istri dari Yanto Djuhari (70), cucu dari Djiauw Kie Song.
Kayu-kayu yang membentuk dinding rumah dipindahkan, berikut atap rumah. Kemudian di lokasi barunya, rumah dibentuk serupa seperti bentuk aslinya sebelum dipindahkan.
“Penculikan” Soekarno-Hatta
Kilas balik 74 tahun silam, persisnya Kamis (16/8/1945) dinihari, sekelompok pemuda mendatangi rumah Hatta kemudian Soekarno di Jakarta. Diantaranya, Sukarni, Chaerul Saleh, Jusuf Kunto dan prajurit Pembela Tanah Air (PETA), Shodancho Singgih, yang tak asing lagi diantara pemuda pejuang kemerdekaan kala itu. Para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta agar ikut mereka.
“Kami mau membawa Bung Karno ke luar kota, untuk mengamankan Bung dari revolusi yang akan digerakkan hari ini,” kata Singgih seperti dikutip dari "Proklamasi, Sebuah Rekonstruksi" karya Osa Kurniawan Ilham.
Menurut Bung Hatta di bukunya, "Sekitar Proklamasi", Sukarni menyampaikan, pukul 12.00, 16 Agustus 1945, rakyat berjumlah sekitar 15.000 orang, termasuk di dalamnya kelompok pemuda, akan menggerakkan revolusi untuk kemerdekaan Indonesia dengan menyerbu tentara Jepang di Jakarta.
Revolusi dipicu informasi bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu. Jadi dalam pandangan kelompok pemuda, tidak perlu lagi proklamasi kemerdekaan Indonesia menunggu diserahkan dari Jepang. Pemuda ingin proklamasi kemerdekaan segera dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta.
“Karena Bung Karno dan Bung Hatta tidak mau memproklamasikan kemerdekaan tadi malam, maka pemuda merencanakan untuk bertindak sendiri. Nanti menjelang pukul 12.00 tengah hari, 15.000 rakyat akan menyerbu kota dan bersama-sama mahasiswa dan PETA akan melucuti tentara Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta akan meneruskan pimpinan dari luar kota,” kata Sukarni kepada Hatta saat berada di kediaman Hatta.
Bung Karno dan Bung Hatta sempat menolak keinginan para pemuda. Perdebatan pun terjadi. Namun kemudian, kedua pendiri bangsa tersebut, mengikuti kehendak para pemuda.
Tersembunyi
Mereka lantas dibawa ke Rengasdengklok. Bersama Bung Karno, turut serta istrinya, Fatmawati dan anak mereka, Guntur.
Sekitar pukul 06.00 mereka tiba di Rengasdengklok, dan dibawa ke tangsi PETA yang saat ini telah berubah menjadi Monumen Kebulatan Tekad, monumen pengingat peristiwa "penculikan" Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Selanjutnya mereka dibawa ke rumah Kie Siong.
“Rumah ini dulu tersembunyi. Makanya dipilih untuk tempat tinggal Bung Karno sekeluarga dan Bung Hatta,” tutur Lanny.
Selama berada di Rengasdengklok, baru disadari bahwa pemberontakan yang disebut Sukarni akan terjadi pada 16 Agustus 1945, tidak pernah terjadi karena kurang matangnya perencanaan.
Namun Sukarni cs yang sejak mendengar informasi Jepang telah menyerah pada sekutu, selalu mendesak agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan, tidak menyerah. Mereka disebut kembali meminta Soekarno dan Hatta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan atau menyimpang dari rencana Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang telah disetujui dan dijanjikan pemerintah Jepang, pada 24 Agustus 1945.
Dikutip dari “Detik-Detik Proklamasi” karya Arifin Suryo Nugroho dan Ipong Jazimah, mereka baru bisa keluar dari “penculikan” para pemuda pukul 21.00. Ini setelah terjadi kesepakatan bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan selekas mungkin di Jakarta.
Namun Hatta membantah hal tersebut. Dia menyebut, tak ada kesepakatan apapun di Rengasdengklok. Dia bahkan seringkali menyindir peristiwa Rengasdengklok sebagai “tamasya”.
“Kami menghabiskan hari di Rengasdengklok dengan tidak mengerjakan apa-apa, kecuali menjaga Guntur,” katanya.
Baca juga: Petani dan Rakyat Kecil dalam Pusaran Proklamasi RI
Yang jelas, mereka kembali ke Jakarta malam itu, dan kemerdekaan diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, keesokan harinya, 17 Agustus 1945.
Tantangan pemuda
Mohamad Roem dalam “Penculikan, Proklamasi, dan Penilaian Sejarah”, mengungkapkan, sekalipun tidak ada keputusan yang dihasilkan di Rengasdengklok, peristiwa tersebut tetap memiliki arti penting dalam perjalanan perjuangan kemerdekaan.
“Dalam percakapan dengan Soomubucho Jenderal Mayor Nishimura, keadaan itu bagi Soekarno-Hatta menjadi alasan yang kuat, kalau tidak yang terkuat untuk bertindak. Dapat dibayangkan bahwa tanpa penculikan, sikap Soekarno-Hatta tidak akan setegas itu,” kata Mohammad Roem.
“Malah terang-terangan Soekarno mengatakan bahwa pernyataan kemerdekaan harus selesai waktu tengah hari tanggal 17, sesuai dengan tuntutan pemuda, “yang dengan syarat itu membolehkan kembali ke Jakarta dari tempat tahanan",” tambahnya.
Nasionalisme pemuda yang begitu kuat selama masa pra-kemerdekaan kemudian berlanjut pasca-kemerdekaan. Sejarah misalnya mencatat, para pemuda pula yang getol menyiarkan kabar kemerdekaan ke pulau-pulau di luar Jawa. Pemerintah sengaja mengutus mereka karena hubungan komunikasi saat itu, masih sangat sulit.
Untuk ke luar Jawa, pemuda pun harus berjuang. Moda transportasi kapal laut atau pesawat terbang, sangat langka. Belum lagi kondisi jalan yang rusak.
Kisah para pemuda itu bisa dibaca dalam "Kurir-Kurir Kemerdekaan" yang ditulis oleh Hardjana HP dan Djoko Dwinanto.
Sejarawan Bonnie Triyana mencatat, pemuda selalu memegang peranan penting dalam setiap perubahan zaman.
"Pemuda, dalam sejarahnya, selalu hadir dan menginisiasi perubahan. Selalu menciptakan sejarah yang mengubah arah bangsa," katanya.
Baca juga: Optimistis Indonesia Maju
Maka jika pemuda tempo dulu mampu mengubah arah bangsa, pemuda saat ini seharusnya mampu pula menjawab tantangan pada zamannya. Nasionalisme yang selalu menjadi kata sakti untuk membakar semangat perjuangan melawan penjajah misalnya, kini, bisa jadi kata sakti untuk melawan radikalisme.