Dubai
Dubai, kota di atas pasir. Gedung-gedung menjulang seakan berlomba menyentuh langit. Meski demikian, tampilan modernitas sebagai anak peradaban masih memberi ruang pada sentuhan tradisional.
Pertengahan Juli lalu, suhu udara Dubai mencapai 40 derajat celsius. Tetesan keringat tak terbendung begitu udara menyentuh kulit. Terasa lembab. Meski saya hidup di negara tropis dengan siraman matahari sepanjang tahun, panasnya Dubai lebih menyengat.
Ketika itu, Kompas memenuhi undangan Dubai Tourism and Commerce Market untuk bertemu sejumlah otoritas yang membidangi ekonomi, pariwisata, perdagangan, dan teknologi di Dubai. Di antara kepadatan agenda, masih tersisa waktu untuk menikmati kota emirat itu.
”Di musim panas seperti ini, aktivitas di luar ruangan lebih baik dilakukan setelah pukul 5 sore. Jadi, matahari sudah tidak terlalu panas,” kata Pallavi (33), anggota staf Dubai Tourism and Commerce Market.
15 Juli Pukul 17.15
Seusai kegiatan, kami meluncur ke Zabeel Park. Di sana terdapat Dubai Frame, salah satu ikon kota Dubai berupa bangunan berbentuk bingkai berwarna keemasan. Bangunan itu jadi penanda sekaligus pemisah antara kawasan kota Dubai lama di satu sisi dengan kawasan Dubai baru—yang dipenuhi gedung pencakar langit—di sisi lainnya.
Sebelum naik ke bangunan setinggi 150,24 meter, pengunjung disuguhi tontonan multimedia mengenai perkembangan Dubai yang berawal dari sebuah desa nelayan menjadi kota metropolitan. Dari lantai paling atas, dapat dilihat lanskap kota Dubai lama ataupun kawasan kota yang baru.
Jika ingin sedikit memacu adrenalin, pengunjung dapat mencoba sensasi menginjak lantai kaca bening atau tembus pandang yang memperlihatkan pemandangan bawah Dubai Frame. Bayangkan jika kaca itu tiba-tiba pecah, hii….
Di situ juga disediakan hiburan multimedia. Layar sentuh yang dapat kita ”tulis” dengan jari kita dan seketika coretan kita akan ditampilkan di layar besar di dinding. Tak kalah menarik, kamera yang mengambil foto kita untuk ditampilkan langsung di layar di lantai itu atau di lantai bawah Dubai Frame di dekat pintu keluar.
Pukul 18.30
Keluar dari Dubai Frame, matahari masih bersinar cerah. Di musim panas, matahari baru kembali ke peraduan lewat pukul 19.00. Kami pun menuju kawasan Al Seef, pinggir Dubai Creek, atau sungai yang jadi lalu lintas perdagangan tradisional kota Dubai hingga kini.
Redupnya mentari kami nikmati sembari makan malam di Restoran Al-Fanar. Di kawasan itu, semua bangunan berkonsep tradisional. Didominasi warna kecoklatan seakan terbuat dari tanah. Detail seperti atap dari daun kering, kayu yang tertanam di tembok, dan lampu yang bergelantungan—persis seperti lampu petromak di Indonesia—menegaskan nuansa tradisional.
Menu yang disajikan di Al-Fanar adalah makanan laut. Menurut sang pramusaji, hidangan tradisional para Emirati, sebutan bagi warga Dubai asli, justru olahan laut. Sebab, Dubai dekat dengan laut. Hasil laut seperti cumi-cumi atau ikan dimasak dengan bumbu rempah atau digoreng yang kemudian disajikan bersama nasi biryani.
Meski satu porsi, ukuran makanannya cukup untuk 2 sampai 3 orang jika dimakan bersama-sama. Soal rasa tentu tergantung selera. Namun, bagi penyuka makanan manis seperti saya, ingin rasanya mengguyur kecap manis di atasnya.
Pukul 17.00
Pasar Rempah & Emas
Berikutnya kami beranjak ke pasar tradisional yang banyak menjual rempah atau ”Grand Souq Deira” dengan menyeberang Dubai Creek, naik kapal yang bertarif satu dirham per orang. Selain menjual aneka rempah, dijajakan pula aneka kain tradisional dan cenderamata.
Tak jauh dari situ terdapat Pasar Emas Dubai atau Dubai Gold Souq. Meski yang dipajang produk emas, di sepanjang lorong pasar banyak pemuda menawarkan tas atau jam tangan bermerek dengan harga miring alias ”KW”.
Pukul 20.00 Air Mancur Menari
Beruntung, tempat kami menginap berada di sebelah Dubai Mall dan di seberang menara Burj Khalifa. Di lokasi itu, terdapat kolam yang mempertontonkan air mancur menari (dancing fountain) di malam hari.
Air mancur yang meliuk-liuk mengikuti irama musik disertai suguhan multimedia dengan menara Burj Khalifa sebagai layar raksasa menjadi daya tarik tersendiri. Lagu yang dikenal khalayak luas seperti ”The Prayer”, ”I Will Always Love You”, lagu yang menjadi tema dari film Mission Impossible, dan lagu-lagu lokal dimainkan tiap setengah jam sekali.
Setiap kali lagu selesai, aplaus wisatawan selalu meriah. Lontaran kata-kata dalam beragam bahasa pun terdengar.
17 Juli 16.00
Al Fahidi-Museum Dubai
Permukiman Al Fahidi di Bur Dubai merupakan kompleks bangunan rumah yang dibangun pada pertengahan abad ke-19. Sebagai warisan sejarah, bentuk asli bangunan berwarna kecoklatan dan tonjolan kayu masih dipertahankan sesuai aslinya hingga saat ini.
Bangunan satu dengan lainnya dipisahkan lorong. Hampir setiap bangunan dilengkapi menara pendingin. Menara pendingin ini berupa corong yang dilengkapi kain basah untuk mendinginkan udara yang masuk. Kini kebanyakan bangunan bersejarah tersebut digunakan untuk galeri seni, restoran, kafe, hingga museum.
Tidak jauh dari permukiman Al Fahidi, berada Museum Dubai. Sebelum dijadikan museum, bangunan itu sejatinya adalah Benteng Dubai yang dibangun pada tahun 1787. Di sana dipamerkan senjata api ataupun senjata tajam yang pernah digunakan kaum Emirati.
Selain itu, ditampilkan pula sejarah kaum Emirati di Dubai yang bermula dari desa kecil hingga kini berkembang menjadi kota perdagangan. Dalam perjalanannya, penguasa Dubai bersama penguasa-penguasa emirat lain bergabung membentuk Uni Emirat Arab pada 1971.
17.30 Burj Khalifa
Menara tertinggi di dunia tentu tidak boleh dilewatkan. Untuk menuju ke sana, loket dan pintu masuk bagi wisatawan tersambung dengan Mall Dubai. Kami bergegas karena waktu telah sore. Sementara biasanya wisatawan akan memadati Burj Khalifa di sore hari untuk menyaksikan matahari terbenam.
Beruntung kami telah membeli tiket ”VIP”. Dengan tiket itu, kami melalui jalur khusus dengan antrean lebih pendek. Tiketnya pun unik. Masing-masing tiket memuat fakta berbeda tentang Burj Khalifa. Di tiket saya, misalnya, tertulis: jumlah batang baja yang digunakan di Burj Khalifa sebanyak 31.400
metrik ton atau setara dengan seperempat dari keliling dunia.
Beruntung kami sempat menyaksikan matahari terbenam dari lantai 124 Burj Khalifa. Seperti kata orang, posisi menentukan prestasi. Dengan posisi yang tepat, terbenamnya matahari pada lanskap kota Dubai terlihat indah. Setelah itu, wisatawan bisa naik ke lantai 125 dengan tangga untuk membeli suvenir.
Zaman akan terus berkembang, menciptakan peradaban baru sekaligus meninggalkan jejak sejarah. Modernitas dan kemajuan Dubai terlihat dari masifnya kemajuan teknologi. Namun, identitas Dubai pun masih direkam dengan baik, mengundang warga dunia ikut mencecapnya.