Masyarakat Indonesia Timur Belum Berdaulat atas Kekayaan Alamnya
Sumber daya alam di wilayah Indonesia timur dinilai belum dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia timur diharapkan bisa menaikkan nilai tawar mereka agar dapat memperjuangkan kesejahteraan mereka setara dengan masyarakat di bagian barat Indonesia.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sumber daya alam di wilayah Indonesia timur dinilai belum dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia timur diharapkan bisa menaikkan nilai tawar mereka agar dapat memperjuangkan kesejahteraan mereka setara dengan masyarakat di bagian barat Indonesia.
Saat ini, masyarakat Indonesia timur belum sepenuhnya berdaulat atas hak kepemilikan ataupun pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kaya di wilayah tersebut. Kebijakan publik serta pembangunan sumber daya manusia (SDM) di wilayah pinggiran juga belum memihak mereka.
Direktur Direktur Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa, dalam diskusi bertajuk ”Meneropong Kebijakan Pembangunan Indonesia Timur”, mengatakan, pemerintah tidak boleh lagi membiarkan tanah-tanah terabaikan yang dikuasai bukan masyarakat lokal.
Langkah itu seperti upaya pemerintah pusat dan daerah dalam mencabut hak guna usaha (HGU) garam seluas 3.720 hektar milik PT Panggung Guna Gandasemesta di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. HGU itu dicabut tahun ini karena terlantar selama 26 tahun. Kini, lahan tersebut dapat dimanfaatkan kembali masyarakat sekitar untuk produksi garam.
”HGU berkedok investasi ini banyak. Untuk itu, kita perlu dorong pemerintah agar melakukan advokasi kebijakan publik. Kepala-kepala daerah juga perlu memiliki posisi tawar atas investasi di Indonesia timur,” ujarnya di Jakarta, Minggu (18/8/2019), pada acara yang diselenggarakan Asosiasi Jurnalis Indonesia Timur (Ajit).
Pada acara tersebut, hadir anggota Ombudsman RI Bidang Ketenagakerjaan dan Sumber Daya Alam, Laode Ida; pemerhati pendidikan Djafar Ngabalin; politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Troy E Pomalingo; dan Direktur Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa.
HGU berkedok investasi ini banyak. Untuk itu, kita perlu mendorong pemerintah agar melakukan advokasi kebijakan publik. Kepala-kepala daerah juga perlu memiliki posisi tawar atas investasi di Indonesia timur.
Laode Ida mengatakan, Ombudsman telah melakukan upaya advokasi kebijakan terkait pengelolaan SDA. Pemerintah masih perlu menata kembali data mengenai hak kepemilikan dan pengelolaan lahan yang berangkat dari fakta lapangan.
Ia mencatat, wilayah Indonesia timur, khususnya Papua dan Papua Barat, memiliki 23 SDA dibandingkan Malaysia yang hanya memiliki sekitar 12 SDA. Dengan demikian, pengelolaan SDA hingga industri hilir atau pengolahannya sebaiknya dimiliki badan usaha milik daerah atau swasta lokal.
Hal itu bertujuan agar menjamin tujuan dari Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebut, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
”Pemerintah saat ini sedang mengejar pembangunan smelter (perusahaan pengolah sumber daya mineral). Kalau ini dipaksakan, khawatir swasta asing yang masuk, lalu mereka menyelewengkan konstitusi kita,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membangun 40 smelter baru hingga tahun 2022. Smelter tambahan tersebut, 21 di antaranya smelter dan 6 smelter nikel dan bauksit.
Kualitas SDM
Untuk dapat berdaya secara ekonomi dan budaya dalam memanfaatkan SDA, Laode menilai, kualitas tenaga kerja Indonesia timur harus ditingkatkan.
Program vokasi atau pelatihan keahlian bisa jadi salah satu langkah utama yang dikerjakan pemerintah bersamaan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas institusi pendidikan.
”Vokasi dan peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan harus seimbang. Tetapi, yang paling akan menguntungkan adalah program vokasi agar ada
link and match antara tenaga kerja dan lowongan pekerjaan,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo, dalam pidato kenegaraannya di DPR, Jumat (16/8), menyampaikan bahwa Indonesia bisa keluar dari kutukan SDA dengan berbekal inovasi, kualitas SDM, dan penguasaan teknologi.
”Indonesia membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terobosan-terobosan jalan pintas yang cerdik yang mudah yang cepat,” ujar Presiden.