Fotografer harian Kompas Yuniadhi Agung mendapat tugas memotret figur musisi Adrian Yunan Faisal. Di tengah menjalankan tugas, ia dihadapkan dengan pemandangan yang mengaduk-aduk emosi. Apakah Yuniadhi berhasil menguasai keadaan dan menyelesaikan tugasnya?
Oleh
M Yuniadhi Agung
·4 menit baca
Sebagai jurnalis, kami dituntut harus siap dengan segala kondisi yang akan dihadapi. Ibaratnya, meski terjadi hujan badai, bukit terjal, hingga laut bergelombang tinggi, harus tetap kami jalani agar dapat merekam peristiwa. Namun, setangguh-tangguhnya jurnalis, ada kalanya sebuah peliputan sederhana justru bisa membuat hati ”meleleh”.
Saya bertugas sebagai jurnalis foto di Desk Non-Berita Kompas. Tugas saya adalah meliput acara-acara yang sifatnya gaya hidup, seperti pentas musik, teater, kuliner, pameran seni, dan memotret orang untuk tulisan profil.
Mungkin ada kesan ”gampang” untuk menghasilkan foto-foto dalam terbitan Kompas edisi hari Minggu. Namun, sesungguhnya butuh banyak hal yang harus diperhatikan saat memotret. Bukan sekadar merekam apa yang tersaji, melainkan butuh mengolahnya melalui konsep pemotretan. Hal ini yang tidak banyak diterapkan ketika memotret peristiwa-peristiwa harian.
Awal Juni 2019, saya mendapat tugas memotret musisi Adrian Yunan Faisal di rumahnya di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Saya meliput bersama wartawan Kompas, Mawar Kusuma Wulan.
Adrian Yunan adalah musisi yang besar bersama grup Efek Rumah Kaca (ERK). Pada 2010, Adrian Yunan kehilangan penglihatannya akibat serangan virus dan kelainan genetik. Masalah kesehatan ini kemudian membuatnya memilih keluar dari ERK.
Sempat menghilang selama beberapa tahun, pada 2017 Adrian Yunan kembali muncul, kali ini sebagai penyanyi solo. Adrian Yunan merintis kariernya selangkah demi selangkah dengan merintis album berjudul ”Sintas”.
Pada 2019, Adrian Yunan merilis singel ”Mencar”. Status ”difabel” tidak lantas menjadi halangan baginya untuk membuka mata dan telinga penikmat musik.
Saya tiba di rumah Adrian ketika sore menjelang. Sebelum saya sampai, Mawar mengirim pesan ia sudah tiba dan berada di lantai 2 rumah Adrian. Ia berpesan, agar saya langsung saja naik ke sana setelah sampai.
Saya menelepon Mawar dan mengabarkan sudah berada di depan rumah. Beberapa menit kemudian, pintu rumah terbuka. Adrian Yunan muncul dan menyapa. Dia kemudian melangkah pelan sambil meraba-raba menuju pintu pagar tempat saya berdiri. Langkahnya jelas, dia seperti ingat di luar kepala.
Ia kemudian meraba pintu pagar dan membuka gembok yang menggantung lalu menyilakan saya masuk. Saya mengikutinya berjalan masuk ke rumah, melewati ruang tamu, kemudian meraih pegangan tangga, dan berjalan hati-hati, memijak satu per satu anak tangga menuju ke lantai atas.
Sesampainya di lantai 2, Adrian menyilakan saya duduk. Ia kemudian melanjutkan wawancara dengan Mawar.
Saya sebenarnya tipe fotografer yang tidak pernah mendesain pemotretan sebelum tiba di lokasi pemotretan. Saya biasanya berusaha dengan cepat mengamati lingkungan untuk mencari sudut dan mencari ide bentuk pemotretan.
Saya menikmati proses yang singkat tersebut karena menantang saya untuk berpikir cepat dan kreatif dalam menghasilkan foto dengan kualitas dan standar Kompas.
Ketika telah siap memotret, saya melihat momen yang boleh dibilang menghancurkan hati saya. Saat wawancara, Adrian Yunan ditemani oleh putrinya, Rintik Rindu (5).
Gadis cantik itu menemani ayahnya dengan gembira. Berkali-kali Rindu memotong pembicaraan Adrian untuk sekadar meminta izin melakukan sesuatu. Dari bahasa tubuh keduanya ketika berkomunikasi, saya menangkap hubungan bapak dan anak yang sangat erat.
Saya sempat terdiam dengan pandangan kosong. Saya tidak mampu membayangkan, bagaimana jika saya yang tidak bisa lagi menyaksikan paras ayu anak saya.
Rindu lahir tahun 2014 ketika penglihatan Adrian Yunan sudah pupus. Pikiran saya terbang saat istri saya melahirkan anak-anak saya. Hal pertama yang terbayang adalah wajah bayi menangis. Saya juga teringat saat anak saya mulai berjalan, mengucapkan kata pertama, dan melambaikan tangan saat hari pertama masuk sekolah.
Saya ingin menangis, tetapi itu tidak mungkin saya lakukan saat itu. Saya terlalu larut dalam emosi saat itu. Namun, tidak lama kemudian saya mulai bisa tersenyum.
Hubungan personal antara Adrian Yunan dan Rindu bukan sekadar hubungan yang tampak oleh mata. Keduanya pasti telah berada dalam situasi berdamai dengan kondisi dan memperlihatkan hubungan yang jauh lebih indah dari yang bisa terlihat dengan mata, yaitu dengan rasa.
Emosi yang muncul sempat sangat mengganggu saya yang membuat konsep pemotretan sedikit berubah. Saya kemudian memutuskan memotret ekspresi Adrian Yunan yang sedang berbicara di sesi wawancara.
Saya memilih teknik pemotretan dengan kecepatan rendah dengan menggerakkan kamera untuk menciptakan gambar yang dinamis. Menurut saya, ini akan menggambarkan bahwa keterbatasan Adrian Yunan tidaklah menjadi hambatannya dalam bergerak dan terus berkreasi. Katanya, seorang seniman akan mati jika berhenti berkreasi.
Beberapa foto ”aman” yang dipotret pada kecepatan normal serta pose dengan mikrofon juga saya siapkan untuk keperluan tata letak di halaman koran. Sesi pemotretan berlangsung sekitar 30 menit. Tidak banyak kendala mengarahkan gaya Adrian Yunan, meski beberapa kali saya harus memegang badan Adrian untuk mengubah posisi dia.
Setelah selesai, saya dan Mawar berpamitan kepada Adrian Yunan. Adrian sempat meminta kami menunggu agar sempat menyantap camilan yang tengah dibawa istrinya, Yonita Ismiyati, dalam perjalanan pulang kerja.
Saat kembali berpamitan dengan Adrian yang mengantar hingga ke pintu pagar, yang terpikir oleh saya adalah segera tiba di rumah agar dapat memeluk erat anak-anak saya. Sungguh hari itu adalah pengalaman visual yang sangat berkesan dalam hidup saya.