Indonesia Tak Mau Kalah dari Vietnam Manfaatkan Perang Dagang
Lesunya ekonomi global membuat nasib ekspor Indonesia dipenuhi ketidakpastian. Pemerintah pun bergerak cepat menggaet relokasi industri negara lain sekaligus memperluas wilayah ekspor lewat perjanjian perdagangan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lesunya ekonomi global membuat nasib ekspor Indonesia dipenuhi ketidakpastian. Untuk menyiasati itu, pemerintah bergerak cepat menggaet relokasi industri negara lain sekaligus memperluas wilayah ekspor lewat perjanjian perdagangan.
Kondisi ekonomi global penuh ketidakpastian akibat memanasnya perang dagang AS dengan China. Hal itu diperkeruh dengan perang dagang Jepang dengan Korea Selatan serta persoalan Brexit atau berpisahnya Inggris dari Uni Eropa.
Sejumlah persoalan itu membuat neraca perdagangan Indonesia defisit pada pertengahan tahun. Pada Januari-Juli 2019, neraca dagang defisit 1,9 miliar dollar AS. Salah satu faktornya adalah merosotnya kinerja ekspor menjadi 95,7 miliar dollar AS dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar 104,1 miliar dollar AS.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, Indonesia tidak berhasil memanfaatkan gejolak global seperti yang dilakukan Vietnam. Sebab, Indonesia masih kalah cepat dalam urusan menggaet relokasi industri dan perjanjian perdagangan sebagai tempat tujuan ekspor.
”Ya, benar adanya (kalah dari Vietnam). Mari kita jujur. Saya ditegur Pak Presiden karena kita ketinggalan dari Vietnam. Kenapa? Karena mereka lebih dulu melakukan banyak perjanjian perdagangan, sedangkan kita baru 10 tahun belakangan kejar-kejaran menyelesaikan perjanjian,” kata Enggartiasto, Senin (19/8/2019), di Jakarta.
Hal tersebut membuat Indonesia sulit berkompetisi tarif dengan Vietnam di beberapa wilayah. Sebut saja, Vietnam sudah menjalin kerja sama perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan Trans Pacific Partnership (TPP). Sementara itu, pasar Turki juga telah direbut negara tetangga, Malaysia.
Untuk itu, pemerintah mengejar ketertinggalan itu dengan mempercepat perjanjian perdagangan. ”Perintah Presiden harus jalan, harus mutar. Tidak mungkin kita hanya mencari dari jauh,” kata Enggartiasto.
Salah satu yang terdekat adalah preferential trade agreement (PTA) dengan Mozambik. Enggar menilai Mozambik bisa menjadi pintu masuk untuk negara-negara di Benua Afrika. Sementara itu, perjanjian perdagangan dengan Tunisia dan Maroko juga sedang dalam tahap penyelesaian.
”Jangan hanya lihat Mozambik, tetapi lihat dia sebagai potensi pintu masuk ke Afrika yang promising. Ini menjadi bilateral pertama dengan negara Afrika. Setelah itu menyusul Tunisia dan Maroko. Kami juga sedang mengupayakan perjanjian dengan Selandia Baru yang menjadi pintu masuk di negara Pasifik Selatan,” tutur Enggartiasto.
Di sisi lain, Enggar juga akan fokus menangkap peluang relokasi industri perusahaan multinasional untuk membangun pabrik di Indonesia. Pemerintah berkomitmen mempermudah perizinan dan memberikan insentif untuk para pelaku usaha yang merelokasi industrinya.
”Kita harus menangkap peluang relokasi industri. Tanpa itu kita tidak mungkin ada penambahan ekspor. Dengan relokasi akan ada tambahan,” ujarnya menambahkan.
Negara-negara yang berpeluang merelokasi industri adalah yang terdampak perang dagang, seperti Chile, China, dan Kanada. Taiwan juga sedang dalam tahap untuk merelokasi industrinya.
Negara-negara yang berpeluang merelokasi industri adalah yang terdampak perang dagang seperti Chile, China, dan Kanada.
Ekonom Senior Bank Standard Chartered Aldian Taloputra mengatakan, upaya untuk memperbaiki ekspor memang sangat diperlukan. Sebab, perang dagang sebagai penyebab utama ketidakpastian ekonomi global kemungkinan masih terjadi hingga 2020.
”Asumsi kita tahun depan kondisinya kurang lebih sama seperti beberapa tahun belakangan. Tensi perang dagang masih berlanjut. Kemungkinan masih hingga Pemilihan Presiden AS pada 2020,” kata Aldian.
Pemerintah, menurut Aldian, bisa memanfaatkan peluang lain seperti dari produk manufaktur. ”Manufaktur ada perbaikan di angka impor dan ekspor terakhir. Kita masih bisa mendorong manufaktur,” ucapnya.
Chief Executive Officer Bank Standard Chartered Indonesia Rino Donosepoetro meyakini, meski ekonomi lesu, pertumbuhan bisnis di Indonesia masih terarah. Peluang besar terdapat di beberapa sektor seperti manufaktur, ritel, dan infrastruktur.
”Untuk memanfaatkan peluang saat ini, perusahaan harus mengadopsi penggunaan teknologi. Seperti misalnya blockhain dan industrial internet of things. Sumber daya manusia juga perlu ditingkatkan,” kata Rino.