JAKARTA, KOMPAS – Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat memastikan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber telah selesai diharmonisasi, sehingga RUU itu sudah diserahkan kepada Komisi I DPR untuk tahap pembahasan. Di sisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil berharap pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa mempercepat pembahasan RUU itu karena berpotensi mengancam kebebasan publik.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, menjelaskan, Baleg DPR sudah menyelesaikan tahap harmonisasi RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS). Atas dasar itu, pembahasan RUU itu sudah diparipurnakan dan ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR.
Kini, pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, lanjutnya, telah diserahkan Badan Musyawarah DPR kepada Komisi I. “Bila dilakukan percepatan, bukan mustahil pembahasan RUU ini bisa selesai sebelum 30 September saat mandat keanggotaan DPR periode ini berakhir. Tetapi, memang waktunya sudah sangat mepet,” kata Hendrawan, Minggu (18/8/2019), di Jakarta.
Ia memastikan, dalam pembahasan tingkat pertama di Komisi I, DPR akan membuka berbagai saluran untuk menyerap masukan masyarakat terhadap RUU KKS.
“Pemerintah juga bisa mengakomodasi masukan-masukan dari masyarakat melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan dalam pembahasan nanti,” ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Anton Setiawan menyatakan, pihaknya berharap DPR segera mengesahkan RUU KKS dalam waktu dekat. BSSN, tambahnya, memerlukan landasan hukum dalam menjalankan kewenangan dalam ranah siber.
“Urgensi percepatan RUU KKS itu adalah kita sebagai negara dapat memiliki landasan hukum untuk bertindak dalam berbagai ancaman keamanan siber yang bisa datang kapanpun. Selain itu, aturan hukum itu dibutuhkan untuk menjaga keamanan warga negara dan menegakkan kedaulatan siber Indonesia,” ucap Anton.
Batasi kebebasan
Direktur Imparsial Al Araf menilai, secara umum pembahasan RUU KKS cenderung dilakukan secara cepat dan minim partisipasi publik. Kondisi ini, tambahnya, menimbulkan dugaan kecurigaan adanya kepentingan di balik pembahasan RUU itu.
Menurut dia, RUU KKS lebih menekankan pendekatan “state centric” dalam panduan keamanan siber. Oleh karena itu, RU itu gagal memberikan kejelasan untuk memastikan perlindungan keamanan individu, perangkat, dan jaringan dalam ruang siber.
“Kami mendesak DPR dan pemerintah menunda proses pembahasan RUU KKS pada periode DPR 2014-2019, sebab draf RUU saat ini berpotensi mengancam kebebasan sipil. Selain itu, perlu pula dilakukan pengkajian ulang terhadap kebutuhan keamanan siber, identifikasi aktor dan kebutuhan setiap sektor, perumusah ulang rancanga, dan pelibatan pemangku kepentingan yang lebih luas,” kata Al Araf.
Untuk menjami keamanan individu, lanjutnya, RUU KKS harus mengedepankan pendekatan berbasis hak asasi manusia. Selain itu, pelibatan masyarakat sipil dalam pembahasan RUU itu, pelaku bisnis juga perlu dilibatkan karena memiliki kebutuhan terkait aturan di ranah digital.