Kualitas udara di sejumlah wilayah di Jakarta dan sekitarnya kian buruk dan berada pada kategori tidak sehat. Situasi ini mengakibatkan sebagian warga di Bekasi dan Tangerang Selatan mulai diserang penyakit infeksi saluran pernapasan.
Oleh
STEFANUS ATO/AYU PRATIWI/*
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Kualitas udara di sejumlah wilayah di Jakarta dan sekitarnya kian buruk dan berada pada kategori tidak sehat. Situasi ini mengakibatkan sebagian warga di Bekasi dan Tangerang Selatan mulai diserang penyakit infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA.
Data dari AirVisual menunjukkan, pada Sabtu (17/8/2019) hingga Minggu (18/8/2019), kondisi udara di luar Jakarta, seperti Bekasi dan Tangerang Selatan, cenderung lebih buruk dibandingkan Jakarta. Rata-rata AQI (indeks kualitas udara) harian di Jakarta pada akhir pekan kemarin sebesar 126-149, di Tangerang Selatan 170-180, dan di Bekasi 150-160.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Bekasi Dezi Syukrawati mendapat laporan adanya peningkatan penderita infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA di 12 kecamatan yang tersebar di Kota Bekasi. ”Data terbaru peningkatan belum kami olah. Tetapi yang pasti, peningkatan penderita ISPA tersebar merata di setiap puskesmas,” katanya Senin (19/8/2019) di Bekasi.
Tingginya penyakit ISPA yang dialami anak balita menempatkan penyakit ISPA sebagai salah satu dari 10 penyakit terbanyak di Kota Bekasi. Pemicu utama munculnya gejala ISPA disebabkan oleh kualitas udara dan lingkungan di Bekasi yang kian memburuk.
”Kita tahu bersama, ISPA tinggi karena faktor kepadatan penduduk, lahan terbuka hijau terbatas, banyak pengerjaan proyek, dan kondisi cuaca karena sudah puncak musim kemarau. Jadi, kondisi alam berpengaruh terhadap ISPA di Kota Bekasi,” katanya.
Warga yang terdampak buruknya kualitas udara juga mulai dirasakan di Tangerang Selatan. Dokter Wiwiek dari Klinik Rodondo, Pamulang, mengatakan, banyak masyarakat yang berobat ke klinik, mengeluhkan batuk, pilek, dan badan panas. Gejala yang dialami warga itu merupakan gejala awal atau ringan dari ISPA.
”Selain ISPA, warga bisa juga terkena asma, penyakit kulit gatal-gatal, dan pencernaan. Karena cuaca panas jadi inginnya minuman yang dingin kemudian mengonsumsi makanan yang tidak bersih,” ucapnya.
Budi Hartanto (30), salah satu pengemudi ojek daring, di Stasiun Sudimara, mengatakan, buruknya kualitas udara sangat terasa saat mengendarai sepeda motor tanpa alat pelindung. Dia terganggu jika mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan masker karena khawatir terserang penyakit gangguan pernapasan. ”Jadi, ke mana-mana saya selalu pakai masker supaya tidak batuk-batuk,” katanya.
Butuh publikasi
Masalah pencemaran udara bukan hanya masalah Jakarta, melainkan juga daerah sekitarnya. Hingga sekarang, wilayah Bodetabek atau Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi belum memublikasikan secara berkelanjutan data terkait kondisi udara di wilayahnya.
”Ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah daerah sekitar Jakarta untuk mempublikasikan mengenai kualitas udara. Sekarang, kita hanya bisa mengandalkan data modelling satellite dari AirVisual. Padahal, Kepala daerah berkewajiban menyajikan data kualitas udara. Warga juga berhak tahu mengenai kondisi udara,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi dari Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Namun, menurut Bondan, data berbasis modelling satellite oleh AirVisual merupakan estimasi dan tidak seakurat data yang diukur langsung oleh stasiun pemantau kualitas udara yang ditempatkan di lapangan. Di Jakarta, ada lima alat ukur kualitas udara milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, satu milik Kementerian Lingkungan Hidup, dua milik Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan empat milik Greenpeace.
Di daerah sekitar Jakarta, kata Bondan, belum ada stasiun pemantau kualitas udara yang disediakan pemerintah. Ada satu di Jatikarya, Bekasi, tetapi itu milik Greenpeace. Informasi mengenai kondisi udara kadang disampaikan oleh pemerintah setempat, tetapi tidak secara kontinu dan terkadang tidak memasukkan parameter PM2,5 atau partikulat 2,5 (partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer).
Kesadaran semua pemerintah daerah untuk menyediakan informasi kualitas udara secara kontinu penting karena pencemaran udara merupakan masalah lintas daerah. ”Semua daerah juga berkewajiban memublikasikan data mengenai kondisi udara dan sumber pencemarannya. Polusi bisa ke mana-mana. Bisa dari luar Jakarta masuk ke Jakarta, ataupun sebaliknya. Arahnya tergantung kecepatan dan kekuatan angin,” tutur Bondan.
Artikel bertajuk ”Inventarisasi Emisi Provinsi DKI Jakarta” oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Maret 2019, menyebutkan, sumber terbesar PM2,5 dan PM10 di Jabodetabek pada 2013 adalah knalpot kendaraan, debu jalan, dan industri. Di Jakarta, Dinas Lingkungan Hidup DKI menyatakan, sumber pencemaran udara berasal dari transportasi darat (75 persen), pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran industri (8 persen), dan pembakaran domestik (8 persen).