Petani di Kalimantan Selatan diajari mengolah tanah tanpa membakar. Hal ini dilakukan agar kebakaran hutan tak lagi meluas.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BARITO KUALA, KOMPAS — Badan Restorasi Gambut kembali mengadakan Sekolah Lapang Petani Gambut di Kalimantan Selatan, 19-22 Agustus 2019. Kegiatan itu bertujuan untuk melatih petani mengelola lahan gambut tanpa membakar. Cara bertani itu diharapkan bisa mencegah kebakaran di lahan gambut.
Sekolah Lapang Petani Gambut kali ini diadakan di Desa Danda Jaya, Kecamatan Rantau Badauh, Kabupaten Barito Kuala. Selama empat hari, para petani yang tinggal di daerah lahan bergambut akan belajar mengelola lahan gambut tanpa bakar dan membuat pupuk organik.
Kepala Subkelompok Kerja Edukasi, Sosialisasi, dan Pelatihan pada Kedeputian III Badan Restorasi Gambut (BRG) Deasy Efnidawesty mengatakan, Sekolah Lapang Petani Gambut menitikberatkan pada pengelolaan lahan gambut tanpa bakar. Sasarannya adalah para petani yang berada di desa peduli gambut.
”Saat ini, kondisi gambut sangat rentan terbakar karena kadar airnya sudah sangat kurang. Jika petani masih membuka lahan dengan didahului pembakaran, hal itu berpotensi menimbulkan kebakaran lahan gambut. Karena itu, kami mendorong pengelolaan lahan gambut tanpa bakar,” kata Deasy di Danda Jaya, Senin (19/8/2019).
Menurut Deasy, pembakaran lahan gambut selama ini dilakukan petani untuk mengurangi kadar asam di lahan gambut. Adapun kadar pH tanah gambut berkisar 2-3. Namun, pembakaran ternyata hanya menjadi solusi sementara. Dari hasil penelitian, setelah dua tahun, lahan gambut yang dibakar pasti akan rusak.
Saat ini, kondisi gambut sangat rentan terbakar karena kadar airnya sudah sangat kurang. Jika petani masih membuka lahan dengan didahului pembakaran, hal itu berpotensi menimbulkan kebakaran lahan gambut.
Untuk mencegah kerusakan gambut, pembukaan lahan harus dilakukan tanpa bakar. Sebagai solusi untuk menaikkan kadar pH tanah gambut, petani akan dilatih membuat pupuk cair yang mudah dan murah.
”Pupuk cair itu sudah terbukti bisa menaikkan kadar pH tanah gambut mendekati 6 bahkan 7. Cara pembuatannya akan diajarkan dalam sekolah lapang ini,” ujarnya.
Dalam sekolah lapang, beberapa instruktur atau pengajar berpengalaman di bidang pertanian dihadirkan untuk mengajarkan petani tentang pertanian terpadu di lahan gambut. Para petani akan belajar mulai dari penyiapan lahan, pembuatan pupuk, sampai pada panen dan pasca-panen, termasuk juga pemilihan tanaman yang baik dan pemberantasan hama.
”Dengan sistem pertanian terpadu dan pengelolaan lahan tanpa bakar, lahan gambut dipastikan akan produktif. Pandangan bahwa bertani di lahan gambut itu sulit tentu akan terbantahkan,” tuturnya.
Dinamisator BRG Wilayah Kalsel Enik Maslahah mengatakan, Sekolah Lapang Petani Gambut di Kalsel mulai dilaksanakan pada 2017. Sasarannya adalah 33 desa peduli gambut di Kalsel. Tahun ini merupakan sekolah lapang yang ketiga dan diikuti 30 orang, yakni petani dari desa peduli gambut, petani swadaya, dan fasilitator desa.
”Dari 2017 sampai 2018, sekolah lapang sudah meluluskan 42 kader petani sekolah lapang. Para kader yang sudah lulus diharapkan mempraktikkan apa yang sudah dipelajari di lahannya masing-masing. Mereka juga diharapkan menyebarkan ilmunya kepada petani lain,” katanya.
Muhammad Sofyani (42), petani dari Desa Pandak Daun, Kecamatan Daha Utara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan mengaku sudah berhasil menerapkan pertanian tanpa membakar. Ia lulus dari Sekolah Lapang Petani Gambut tahun lalu.
Tahun ini, Sofyani juga sudah membentuk kelompok tani dengan jumlah 20 orang untuk berbagi ilmu. ”Saya sudah mempraktikkan pembukaan lahan tanpa bakar dan pembuatan pupuk organik. Lahan itu sekarang ditanami cabai dan jagung. Hasilnya bagus,” katanya.