Transfer ke Daerah Terus Naik, Kualitas Penggunaan Anggaran Disoroti
Peningkatan alokasi transfer ke daerah dan dana desa mesti dibarengi kualitas penggunaan anggaran. Indikator pengukur kualitas mencakup angka kemiskinan, pemerataan, dan kesejahteraan daerah.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan alokasi transfer ke daerah dan dana desa mesti dibarengi kualitas penggunaan anggaran. Indikator pengukur kualitas mencakup angka kemiskinan, pemerataan, dan kesejahteraan daerah.
Mengutip data Kementerian Keuangan, alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) terus meningkat sepanjang 2015-2019. Dalam Rancangan APBN 2020, alokasi TKDD mencapai Rp 858,8 triliun atau sekitar 34 persen dari total belanja negara.
TKDD terdiri dari dana transfer umum Rp 546,2 triliun, dana transfer khusus 202,8 triliun, dana insentif daerah Rp 15 triliun, dana otonomi khusus dan keistimewaan DI Yogyakarta Rp 22,7 triliun, dan dana desa Rp 72 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, alokasi TKDD naik cukup signifikan tahun 2020, terutama untuk dana alokasi umum (DAU). Kenaikan TKDD diarahkan antara lain untuk mendukung perbaikan kualitas layanan dasar publik dan akselerasi daya saing.
”Belanja kementerian/lembaga di daerah juga semakin besar yang kemudian dihibahkan atau digunakan daerah tersebut,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Sinkronisasi TKKD dengan belanja kementerian/lembaga di daerah patut menjadi perhatian. Hal itu karena kucuran anggaran yang mengalir ke daerah lebih deras. Pengaruh anggaran terhadap kemiskinan, pemerataan, dan kesejahteraan mesti dimonitor.
Kenaikan TKDD diarahkan antara lain untuk mendukung perbaikan kualitas layanan dasar publik dan akselerasi daya saing.
Sri Mulyani tidak memungkiri beberapa alokasi TKDD belum dibelanjakan secara berkualitas oleh pemerintah daerah. Misalnya, sebagian besar DAU digunakan untuk belanja pegawai daerah. Belum lagi, kerap terjadi tumpang-tindih penggunaan DAU dan dana alokasi khusus (DAK).
”Efektivitas dari alokasi TKDD berupaya ditingkatkan dengan membangun sistem informasi daerah bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Sri Mulyani.
Dalam Rancangan APBN 2020, penguatan TKDD dilakukan dengan menambah bidang baru untuk DAK fisik, yaitu sosial dan transportasi laut. Selain itu, tambahan DAU dialokasikan juga untuk penyetaraan penghasilan tetap (siltap) perangkat desa dan penggajian pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Secara terpisah, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Benedictus Raksaka Mahi, berpendapat, DAK berperan penting untuk memperbaiki efisiensi belanja daerah. Sebab, alokasi dan penggunaan DAK sudah ditentukan pemerintah pusat, misalnya, pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan.
”Kendati alokasinya terbilang kecil dibandingkan DAU, DAK berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi daerah,” kata Raksaka.
Menurut Raksaka, kenaikan TKDD tidak selalu diikuti peningkatan output yang juga signifikan, terutama untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, perlu ada sistem pemantauan dan evaluasi terhadap berbagai jenis dana transfer, serta manfaatnya bagi masyarakat di daerah.
Berdasarkan data yang diolah Universitas Indonesia, total transfer dana ke daerah pada 2005-2018 rata-rata tumbuh 11,45 persen per tahun. Pada 2018, komposisi transfer dana ke daerah terdiri dari 61 persen DAU, 26 persen DAK, dan 13 persen dana bagi hasil.
Tidak tepat sasaran
Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, realisasi belanja negara sepanjang 2011-2018 terus meningkat, sementara pertumbuhan ekonomi melambat. Hal itu karena belanja negara yang dialokasikan melalui kementerian/lembaga dan transfer ke daerah belum sepenuhnya tepat sasaran.
Mengutip data Bappenas, selama periode 2011-2018, belanja negara meningkat 75,34 persen dari Rp 1.294 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 2.269 triliun pada tahun 2018. Namun, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat dari 6,16 persen pada 2011 menjadi 5,17 persen pada 2018. (Kompas.id, 12/8/2019)
Dari hasil kajian Bappenas, setiap 1 persen kenaikan belanja kementerian/lembaga sebenarnya memiliki andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen. Sementara setiap 1 persen kenaikan transfer dana ke daerah secara agregat dapat meningkatkan 0,016 persen pertumbuhan ekonomi daerah.
Merujuk kajian tersebut, kenaikan belanja negara belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal. Pada 2017-2018, misalnya, kenaikan belanja negara sebesar 11 persen hanya memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,24 persen, dari seharusnya 0,66 persen.
Menurut Bambang, misinterpretasi regulasi bisa jadi penyebab belanja tidak tepat sasaran. Misalnya, belanja modal diartikan sebagai pengelolaan aset sehingga dapat digunakan untuk membeli perangkat komputer, pembangunan gedung, atau penyewaan mobil pejabat. Belanja modal untuk itu tidak memberikan dampak berganda bagi perekonomian.
Editor:
M Fajar Marta
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.