Anak dan Perempuan Jadi Obyek Kejahatan, Undang-Undang Harus Dipercepat
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan merupakan kejahatan paling serius. Untuk menanggulangi kekerasan seksual di masa mendatang, intervensi negara harus dilakukan dengan mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang berorientasi pada korban menjadi undang-undang.
“Dalam studi kejahatan, kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan adalah graviora delicta yang berarti kejahatan paling serius. Anak dan perempuan yang merupakan kelompok rentan yang seharusnya dilindungi, justru menjadi obyek kejahatan,” ujar Deputi Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Vennetia R Danes, dalam pertemuan yang membahas substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Senin (19/8/2019), di Jakarta.
Dalam studi kejahatan, kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan adalah graviora delicta yang berarti kejahatan paling serius.
Pertemuan dalam rangka persiapan menghadapi Rapat Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR dihadiri perwakilan kementerian/lembaga termasuk dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara RI, dan Kantor Staf Kepresidenan, tim Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Komisi VIII DPR, pakar hukum, dan perwakilan masyarakat sipil.
Menurut Vennetia, hingga 2018 terdapat lebih dari 3.000 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Namun hingga kini penegakan hukumnya masih lemah. Hal itu terjadi karena sejumlah faktor, seperti korban terus disalahkan berdasarkan stereotip (pelabelan) jender, masih ditemukan korban-korban kekerasan seksual sulit memproses kasusnya karena pandangan kontribusi korban (victim participation) sehingga diarahkan untuk tidak meneruskan perkaranya ke pengadilan.
“Faktor lain adalah kondisi korban yang sangat rentan untuk dijadikan tersangka. Dalam konteks tersebut kasus Nuril Baiq adalah contoh konkret yang berupaya mengungkap kasusnya namun justru dijadikan tersangka dalam kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik,” ujar Vennetia yang juga Ketua Panja Pemerintah untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pada acara tersebut, Vennetia menyatakan bahwa pada tanggal 6-7 Agustus 2019 dan tanggal 15-16 Agustus 2019, tim panja pemerintah bersama-sama dengan tim ahli melakukan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mulai dari judul hingga batang tubuh.
Untuk judul diubah menjadi Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. “Argumentasinya karena RUU ini adalah hukum pidana khusus internal atau hukum pidana khusus yang merupakan undang-undang pidana dan bukan undang-undang pidana yang bersifat administrasi,” papar Vennetia.
Sementara itu, pakar hukum Prof Harkristuti Harkrisnowo dan Dr Supriyadi juga memberikan penjelasan mengenai substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Supriadi menjelaskan judul awal RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, kemudian ada usulan perubahan menjadi RUU tentang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kemudian terjadi perubahan judul kedua yakni RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Perubahan judul kedua di atas didasarkan pada argumentasi agar RUU a quo tidak diposisikan sebagai Undang-Undang Pidana Administrasi (Ultimum Remedium), melainkan diletakkan sebagai Undang-Undang Pidana (Primum Remedium) seperti Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan lainnya,” ujarnya.
Harkrituti berpendapat sebaiknya tindak pidana yang telah diatur dalam RUU Hukum Pidana tidak perlu diatur kembali dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Misalnya perkosaan, menurutnya di seluruh dunia, perkosaan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP masing-masing negara.
“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang belum diatur dalam RUU Hukum Pidana,” kata Harkristuti.