Api yang Telanjur Tak Bisa Padam
Api kecil adalah kawan, api besar menjadi lawan. Pepatah ini pas menggambarkan kondisi kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah di Tanah Air. Kekuatan api yang membakar benda apa pun di dekatnya itu sangat dahsyat. Apalagi di lahan gambut yang kering.
Gambut kering adalah gudang bahan bakar. Kebakaran lahan gambut pada musim kemarau ibarat kebakaran di sumur minyak yang sangat sulit dipadamkan. Hanya hujan yang mampu memadamkan kebakaran lahan gambut yang meluas.
Sonny Sumarsono, mantan pilot helikopter spesialis pemadam kebakaran lahan di Riau, pernah mengatakan, 1.000 helikopter pun tidak akan mampu memadamkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut seluas 1.000 hektar (ha). Hal itu disampaikannya ketika Riau dilanda bencana asap pada 2013. Ucapan Sonny itu bisa menjadi gambaran bahwa kemampuan manusia dibantu mesin untuk memadamkan api tidak sebanding kekuatan api yang membakar lahan gambut. Mari lihat hitung-hitungannya.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penanggulangan Karhutla Riau, sejak 1 Januari-14 Agustus 2019, karhutla di Riau seluas 5.156 ha (sebagian besar gambut). Rinciannya, 3.000 ha terbakar pada periode kemarau pertama pada Februari-April, sedangkan penambahan 2.156 ha lahan berlangsung dari awal Juli hingga 14 Agustus 2019 saat kemarau kedua.
Secara klimatologis, wilayah Riau memang dikenal memiliki dua musim kemarau. Ukuran luas kebakaran ini memang belum riil. Sebab, menurut data satelit versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas kebakaran lahan di Riau (sampai April saja) sudah 27.000 ha. Data KLHK itu sering diprotes Satgas Karhutla Riau karena angkanya berselisih jauh dari versi Satgas Riau.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Edwar Sanger (Wakil Komandan Satgas Karhutla Riau) tidak membantah perbedaan data versi Satgas dan KLHK itu. Ia hanya mengatakan, data yang dirilis Satgas adalah rekapitulasi laporan dari Subsatgas Karhutla kabupaten dan kota se- Riau.
Taruhlah kita menggunakan data kebakaran seluas 5.156 ha. Masih berdasarkan laporan satgas, helikopter yang digunakan untuk memadamkan api berjumlah 11 unit dari jenis Sikorsky, Kamov, Super Puma, Mi 8, dan Bell dengan daya angkut bervariasi, dari 3.000-5.000 liter sekali bom.
Total air yang dibombardir ke lokasi kebakaran di Riau (Maret-Agustus) mencapai 77,18 juta liter air dalam 20.000 kali curah (water bombing) dari helikopter dalam 550 kali penerbangan. Secara matematis, (dengan asumsi hanya 10 persen areal terbakar yang dapat dilakukan penyiraman bom air atau total 500 ha), itu berarti dalam satu hektar lahan terbakar sudah ”digempur” 154.000 liter air.
Sekilas, angka 154.000 liter sangat besar. Benarkah? Apabila hitungan diperkecil, dalam satu meter persegi lahan (1 ha = 10.000 meter persegi) ternyata hanya disiram 15 liter air! Pada kebakaran lahan di tanah mineral, kebakaran 1 meter persegi mungkin bisa padam dengan 15 liter air. Namun, berbeda dengan lahan gambut. Apalagi penambahan areal terbakar di lahan gambut merembet mengikuti deret ukur. Pemadaman dibantu bom air bersifat konstan mengikuti deret hitung.
Dengan gambaran dan hitung-hitungan di atas, dapat dipastikan kebakaran lahan berskala kecil masih dapat dipadamkan dengan helikopter. Bila areal terbakar lebih dari 10 ha, sangat sulit dipadamkan.
Soal kecepatan
Memadamkan api di lahan gambut memang tak melulu soal hitungan matematis. Beberapa pakar pemadam dari Manggala Agni dan perusahaan di Riau yang mempunyai petugas pemadam profesional mengatakan, kemampuan tim (darat) mengendalikan api jadi faktor utama. Bom air lebih bersifat membantu tugas tim darat.
”Semakin cepat tim darat menyekat lahan terbakar, semakin mudah api dikendalikan, kecuali terjadi hal-hal seperti cuaca sangat terik dan angin kencang menerbangkan bunga api ke luar areal sekat bakar. Paling utama yang harus ada yaitu sumber air di dekat lokasi kebakaran. Dibantu bom air dari helikopter, api makin cepat padam,” kata Sailal Arimi, Manager Desa Bebas Api, PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP).
Menyekat lahan gambut terbakar sangat sulit. Lahan terbakar acapkali jauh dari lokasi permukiman dan sulit air. Lihat saja kebakaran lahan di Desa Sering, Pelalawan, Kabupaten Pelalawan (90 kilometer dari Pekanbaru). Lahan terbakar diketahui pada Jumat (26/7/2019). Diperkirakan, api membakar lahan 10 ha. Tim BPBD Pelalawan, TNI, Polri, dan PT RAPP memadamkan pada Jumat itu juga.
Awalnya, kebakaran diyakini bakal cepat padam karena tim berhasil mengepung lokasi api. Namun, Selasa (30/7), cuaca sangat terik dan angin bertiup kencang. Bunga api bertebaran ke berbagai penjuru dan memunculkan kebakaran baru di mana-mana. Rabu (31/7), PT RAPP mendatangkan dua ekskavator menyekat lahan kebakaran dan membuat sumur air di lokasi. Tiga hari tim pemadam bekerja, seluruh lokasi kebakaran tersekat dengan parit dangkal, Jumat (2/8) sore.
Direncanakan, Sabtu pagi, semua tim darat mulai menggempur titik utama kebakaran yang disebut kepala api, tetapi batal. Muncul titik kebakaran baru di luar zona sekat bakar. Ternyata, saat tim beristirahat Jumat malam sampai Sabtu pagi, bunga api meloncati areal sekat bakar dan membakar lokasi baru. Kebakaran meluas.
Jumat (9/8), tim pasukan darat ditambah jadi 200 orang. Dua unit heli membantu bom air. Ternyata, hingga Kamis (16/8), api di desa itu belum juga padam. Lahan terbakar yang diperkirakan 200 ha belum padam selama 20 hari!
Mengapa kebakaran di Desa Sering belum padam? Sebab, api terlalu besar. Dapatkah dibayangkan cara memadamkan kebakaran gambut yang jauh dari permukiman, tanpa akses jalan, di cuaca panas, angin kencang, sulit air, tanpa alat berat, dan tidak dibantu bom air? Jadi, ingatlah pepatah di atas. Api kecil adalah kawan, saat besar tiada terlawan. Kuncinya, jangan sampai api muncul.