JAKARTA, KOMPAS – Meski sejumlah elite partai mewacanakan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 atau Undang-Undang MD3 untuk menambah komposisi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menegaskan tidak ada rencana untuk merevisi regulasi tersebut. Hingga Selasa (20/8/2019), tidak ada usulan pengubahan, baik dari DPR maupun pemerintah.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo di Jakarta, mengatakan, belum ada usulan resmi untuk merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU MD3. Regulasi itu pun tidak masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) yang harus direvisi dalam waktu dekat.
“Revisi UU MD3 juga tidak ada urgensinya,” kata Arif.
Selain baru saja diubah pada 2018, UU MD3 telah mengatur sejumlah hal baku yang dinilai mampu menjamin stabilitas sistem ketatanegaraan dan sistem politik. Salah satunya menetapkan komposisi pimpinan MPR.
Pasal 427C UU No 2/2018 menyebutkan bahwa setelah Pemilu 2019, pimpinan MPR terdiri dari seorang ketua dan empat wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota MPR. Pemilihan mereka dilakukan dalam satu paket yang bersifat tetap.
Adapun bakal calon pimpinan berasal dari fraksi yang disampaikan dalam sidang paripurna. Setiap fraksi berhak mengajukan seorang bakal calon.
Menurut Arif, komposisi yang terdiri dari lima pimpinan sudah sesuai dengan tujuan UU MD3, yaitu menyederhanakan sistem kepartaian. “Sistem yang kita bangun ini menuju sistem presidensial yang efektif berbasis multipartai sederhana, refleksinya ada pada komposisi DPR dan MPR,” ujar dia.
Wakil Ketua Baleg dari Fraksi Partai Golkar Muhammad Sarmuji, menegaskan, belum ada pembicaraan terkait revisi UU MD3. Kalau pun nantinya ada usulan, kajian mengenai pengubahan tersebut harus dilakukan secara komprehensif.
Misalnya, menyertakan kajian soal jumlah ideal anggota setiap fraksi untuk memudahkan pengambilan keputusan di DPR. “Dengan begitu, orientasi dalam penyusunan undang-undang tetap pada kepentingan rakyat, bukan sekadar memenuhi hasrat elite,” kata Sarmuji.
Menurut dia, belum ada alasan kuat pengubahan komposisi pimpinan MPR. Kehendak itu pun bertentangan dengan revisi UU MD3 pada 2018 yang dikebut dalam waktu cepat untuk mengakomodasi pemenang pemilu sebagai pimpinan DPR.
"Kalau sekarang, rasanya terlalu mahal jika hanya untuk menunjukkan kesan kebersamaan dalam wadah MPR,” ujar Sarmuji.
Ketua Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas, menjelaskan, memang belum ada usulan revisi baik yang masuk dari anggota DPR maupun perwakilan fraksi. Meski demikian, kemungkinan bagi pihak yang ingin mengusulkan pengubahan tersebut belum ditutup.
Waktu yang tersisa pada masa jabatan MPR 2014-2019 hingga Oktober 2019 pun cukup untuk merevisi UU MD3. Asalkan, pengubahan fokus pada Pasal 427C terkait komposisi pimpinan MPR.
“Kalau hanya mengubah satu pasal, secara teknis tidak ada masalah karena tidak mengubah seluruhnya. Jadi pasti sangat cukup waktu yang tersisa sebelum pelantikan Oktober nanti,” ujar Supratman.
Melebar
Menurut Arif, sulit untuk mengendalikan pengubahan pasal-pasal lain jika kesempatan untuk merevisi UU MD3 telah dibuka. Kemungkinan besar, pembahasannya akan melebar pada pasal yang lain sehingga berpotensi menimbulkan kegaduhan politik nasional. Kegaduhan tersebut juga akan mengganggu stabilitas pemerintahan lima tahun ke depan.
“Oleh karena itu, PDI-P jelas sikapnya, tidak setuju pada pengubahan UU MD3,” kata Arif yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P.
Wakil Ketua DPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, pengubahan komposisi pimpinan MPR tidak akan melebar pada pasal-pasal lain jika ada kesepakatan mengenai lingkup revisi. Ia menilai, revisi tersebut menunjukkan hal yang baik dalam dinamika politik di parlemen.
Lebih dari itu, revisi UU MD3 pada bagian komposisi pimpinan MPR tidak akan menimbulkan masalah kelembagaan. Sebab, MPR merupakan lembaga yang tidak berorientasi praktis.
Menurut Arsul Sani, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, wacana pengubahan komposisi pimpinan MPR membagi persepsi masyarakat pada dua sudut pandang ekstrem. Pertama, revisi tersebut terlihat sebagai ikhtiar elite partai politik untuk membagi-bagi jabatan.
Ia menambahkan, dalam sudut pandang lain, penambahan pimpinan dibutuhkan untuk menyetarakan peran partai politik di MPR. Sebagai lembaga permusyawaratan, MPR mengurusi hal-hal yang lebih dari politik praktis. Oleh karena itu, semua perwakilan fraksi harus mendapatkan posisi sebagai pimpinan.
Pada periode 2014-2019, MPR dipimpin oleh delapan orang, terdiri dari ketua dan tujuh wakil. Dalam UU MD3, telah ditetapkan bahwa pimpinan MPR 2019-2024 akan diisi lima orang.
Saat ini, berkembang wacana untuk menambah jumlah pimpinan menjadi delapan atau 10 orang. Jumlah tersebut disesuaikan dengan jumlah partai yang lolos ambang batas parlemen, yaitu sembilan partai.
Arsul menambahkan, saat ini para elite partai tengah berkomunikasi mengenai wacana tersebut. Sejauh ini pandangan mereka masih terbelah antara setuju dan tidak setuju. Hal itu perlu segera diputuskan karena pimpinan MPR harus sudah terbentuk sebelum pelantikan presiden.