Bicara dengan Masyarakat Papua dalam Semangat Kesetaraan
Bicara dalam kesetaraan dan bukan dengan pendekatan superior terhadap inferior, serta melihat Papua dari sudut pandang Papua dengan hati jernih, adalah langkah awal menuju Papua damai.
Kerusuhan terjadi di Kota Sorong dan Kota Manokwari, Papua Barat, Senin (19/8/2019). Peristiwa ini menyusul terjadinya insiden pengepungan Asrama Papua di Kota Surabaya dan Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (17/8), oleh massa beratribut ormas.
Hal yang ”menarik” dari kasus itu, tidak ada perusakan rumah ibadah karena secara umum dalam sudut pandang masyarakat Papua, rumah ibadah adalah tempat orang belajar dan berbuat baik bagi sesama manusia.
Perilaku rasisme terhadap warga Papua di Jawa Timur dituding menjadi pemicu kemarahan massa di Sorong dan Manokwari serta unjuk rasa di Jayapura. Media massa di Jakarta pun ramai memberitakan kerusuhan tersebut.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa kemudian menghubungi Gubernur Papua Lukas Enembe dan meminta maaf atas perilaku rasis dan tindakan tidak menyenangkan dari sekelompok kecil orang di Jawa Timur terhadap warga Jatim asal Papua.
Menyikapi kerusuhan di Papua, dalam berbagai liputan di stasiun televisi dan siaran radio, berulang kali digunakan sebutan ”mereka” untuk menyebut warga yang berada di Papua.
Psikologi dan pemahaman soal Papua terlihat tidak dipahami oleh awak media di Jakarta dan Pulau Jawa. Sebutan ”mereka” tanpa disadari membangun jarak psikologis antara Papua dan pusat pemerintahan serta Pulau Jawa.
Sepanjang interaksi dengan sesama keluarga besar Papua di Jawa tahun 1990-an, penulis dan sesama warga Papua selalu membahasakan diri dengan sebutan ”masyarakat” untuk menyebut komunitas kami, tanpa membedakan warna kulit meski penulis tidak berdarah Papua.
Aktivitas makan, tidur, dan bekerja sama dalam satu atap membuat hubungan semakin erat dan penggunaan kata ”masyarakat” untuk membahasakan diri kami semua menjadi penting.
Kesetaraan dan persaudaraan masyarakat Papua berjalan lintas warna kulit dan agama. Semisal, tokoh Papua, Thaha Al Hamid, yang seorang muslim, dihormati setara dengan para pemimpin adat Papua yang lain.
Persaudaraan Kristiani, Islam, dan berbagai kelompok di Papua sejatinya berlangsung cair dan lekat. Semisal di daerah Fakfak yang pernah berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate di Maluku Utara dihuni oleh warga Papua Muslim yang berhubungan erat dengan saudara-saudara Papua Kristiani di daerah sekitarnya.
Saat berjumpa dengan Thaha Al Hamid untuk membahas soal membuka Papua sebagai Pintu Indonesia ke Pasifik Selatan, Thaha pun dengan akrab memanggil penulis dengan sebutan ”Anak”.
Sapaan Bapa-Anak, Ade, Kaka, Mama, Mace, Pace, Paitua, dan lain-lain adalah bahasa keakraban dan persaudaraan sesama warga Papua dalam membahasakan diri, seperti penggunaan sebutan ”masyarakat” untuk menyebut sesama secara inklusif.
Peneliti Senior LIPI, Adriana Elisabeth, mengingatkan pentingnya membangun dialog dalam semangat kesetaraan. ”Masyarakat Papua itu ingin didengar. Di masa silam, masyarakat ditekan dan teraniaya. Biasanya sesudah mengeluarkan isi hati, dengan mudah masyarakat diajak bicara hati ke hati dan mencapai kesepakatan. Intinya adalah dialog,” tutur Adriana.
Ia bersama almarhum Muridan Widjojo dan para peneliti LIPI merintis riset dan hubungan dengan seluruh masyarakat Papua sejak puluhan tahun. Pola pendekatan hati dan empati inilah yang dilakukan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang mengangkat simbol-simbol Papua.
Bagi masyarakat Melanesia dan Austronesia di Pasifik Selatan, adat adalah identitas dan kehormatan. Masyarakat Papua sangat menghormati ”Bapa Gus Dur” dan bagi warga Kristiani Papua, Jemaah NU adalah ”Jemaatnya Bapa Gus Dur pu Gereja” (jemaat Gereja yang dimaksud jemaah Nahdlatul Ulama) yang harus dijaga seperti menjaga diri sendiri.
Itulah mengapa masyarakat Samoa dan Hawaii dalam keluarga besar Republik Amerika Serikat sangat bangga dengan identitasnya yang bertahan, di tengah arus modernitas budaya populer Amerika Serikat.
Itu juga yang membuat masyarakat Chamorro di Kepulauan Mariana yang menjadi wilayah perlindungan Amerika Serikat juga memelihara identitas adat budaya mereka. Turis dari Jepang, Korea Selatan, dan China kerap berwisata ke wilayah tersebut karena keindahan alam dan budaya masyarakat setempat.
Terlebih bagi bangsa Jepang, banyak dari wisatawan Jepang juga berziarah ke tempat-tempat bekas pertempuran semasa Perang Dunia II yang tersebar di pulau-pulau di Pasifik Selatan.
Diplomat Kementerian Luar Negeri Ida Bagus Bimantara yang pernah bertugas di KBRI Canberra mengingatkan betapa eratnya identitas kultural Austronesia dan Melanesia di Kepulauan Pasifik dengan Bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia di sebelah barat berasal dari rumpun Austronesia sama dengan masyarakat Madagaskar, Guam, dan beberapa wilayah Pasifik, seperti di Republik Mikronesia dan lain-lain.
Adapun masyarakat Melanesia, seperti di NTT, Maluku, dan Papua, memiliki kesamaan dengan warga di Papua Niugini, Kepulauan Solomon, Kaledonia Baru, Vanuatu, dan Fiji.
Peneliti Lembaga Eijkman, Herawati Sudoyo, mengingatkan, garis darah Melanesia dalam tubuh manusia Indonesia secara umum memiliki leluhur dari berbagai asal-usul. Maka, sangat tidak relevan perilaku diskriminasi terhadap masyarakat Papua, mengingat kita semua memiliki warisan genetika Melanesia.
Kedekatan hubungan budaya Austronesia dan Mikronesia ini pun diakui badan dunia, seperti UNESCO. Badan PBB ini menetapkan Nan Madol di Republik Mikronesia sebagai situs warisan dunia, yakni bekas candi dan istana batu yang dibangun Dinasti Sadulur tahun 1200-1500 Masehi atau pada periode yang sama dengan masa Kerajaan Majapahit tumbuh. Secara geografis pun terdapat pulau karang bernama Ontong Jawa di kawasan Pasifik Selatan tersebut.
Bicara dalam kesetaraan dan bukan dengan pendekatan superior terhadap inferior, serta melihat Papua dari sudut pandang Papua dengan hati jernih, adalah langkah awal menuju Papua damai. Papua adalah pintu persaudaraan Indonesia ke Pasifik Selatan sebagai keluarga besar bangsa Austro–Melanesia yang membentang dari Madagaskar–Indonesia–Malaysia–Filipina hingga negeri-negeri kepulauan di Pasifik Selatan.