Ibu Kota Baru Tak Akan Dibangun di Tahura Bukit Soeharto
Tingginya laju deforestasi di Kalimantan menjadi salah satu faktor yang membuat pemerintah memutuskan untuk tidak memindahkan ibu kota ke kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto. Tidak hanya itu, pemerintah juga memutuskan ibu kota baru tidak akan dibangun di areal lahan gambut.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Pemerintah berjanji ibu kota yang baru tidak akan ditempatkan di areal Taman Hutan Raya atau Tahura Bukit Soeharto di Pulau Kalimantan. Pemerintah juga berjanji ibu kota baru tidak akan dibangun di areal lahan gambut. Tingginya laju deforestasi dan alih fungsi lahan gambut di Kalimantan menjadi faktor pertimbangan pemerintah.
Bukit Soeharto merupakan kawasan Tahura seluas 61.850 hektar dan diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 160/MENHUT-II/2004.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam acara ”Konsultasi Regional untuk Wilayah Kalimantan atas Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024” di Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (20/8/2019), menyebutkan, laju deforestasi tertinggi sejak 2000 terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Khusus Kalimantan, laju deforestasi diperkirakan mencapai 10,12 persen hingga tahun 2024.
”Penurunan ini akan terus berlanjut hingga 16,79 persen pada tahun 2045. Hal ini juga disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit,” katanya.
Tidak hanya soal hutan, Bambang juga menekankan, ibu kota baru tidak akan berada di areal lahan gambut. Sebab, alih fungsi lahan gambut di Kalimantan marak terjadi sejak 2000 hingga 2015. Jumlahnya mencapai 15 persen dari total seluruh kawasan gambut.
”Oleh sebab itu, tentunya pemindahan ibu kota tidak akan menggunakan lahan hutan dan gambut,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo telah meninjau Bukit Soeharto, Kalimantan Timur, ketika survei wilayah untuk pemindahan ibu kota, 7 Mei 2019. Bukit Soeharto disebut menjadi salah satu lokasi yang mungkin dipilih menjadi lokasi ibu kota negara yang baru.
Selain itu, Presiden Jokowi juga meninjau kawasan perkebunan di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dan lokasi kawasan hutan dan perkebunan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, pada 8 Mei 2019. Kedua lokasi ini juga memungkinkan untuk jadi lokasi ibu kota yang baru.
”Kami akan menjaga keutuhan lingkungan hidup, kalau perlu Bukit Soeharto akan kami revitalisasi nantinya,” kata Bambang.
Pemerintah merancang, untuk kebutuhan ibu kota baru itu dibutuhkan lahan seluas 100.000-180.000 hektar. Untuk tahap pertama, pemerintah akan membangun ibu kota baru di lahan seluas 40.000 hektar.
”Tentunya masih banyak lahan non-hutan yang ada di Kalimantan dan bisa dijadikan lokasi pemindahan ibu kota baru. Selain itu, lokasi pemindahan ibu kota juga akan menggunakan tanah HGU (hak guna usaha) yang memang dikuasai pemerintah,” ucapnya.
Sementara itu, Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor mengatakan telah siap jika nantinya ibu kota dipindahkan ke wilayah Kaltim. Ia pun tidak mempermasalahkan jika nantinya ternyata daerah di provinsi lain di Kalimantan yang terpilih menjadi ibu kota negara.
”Semua daerah di Kalimantan itu sama-sama layak untuk dijadikan ibu kota, tentunya kami sebagai pemerintah provinsi sangat siap untuk memenuhi semua syarat pemindahan ibu kota,” ucapnya.
Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambire berharap Presiden Jokowi segera mengumumkan lokasi yang akan dipilih sebagai ibu kota. Dengan demikian, pemerintah daerah yang wilayahnya digunakan untuk ibu kota bisa segera menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk ibu kota baru.
”Sayang sekali, lokasi persisnya tidak tercantum dalam rancangan awal RPJMN 2020-2024, padahal pemindahan ibu kota menjadi salah satu prioritas,” ucapnya.
Sebelumnya, Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia Jatna Suprijatna mengatakan, untuk mengurangi tekanan terhadap ekosistem, pembukaan hutan yang tersisa demi alasan pembangunan harusnya dihentikan. Pembangunan bisa mengoptimalkan hutan yang sudah telanjur dibuka.
Oleh karena itu, terkait rencana pembangunan ibu kota baru diharapkan bisa menerapkan prinsip meminimalkan tekanan terhadap keberagaman hayati ini. Hal itu mulai dari pemilihan lokasi hingga proses pembangunannya harus memperhatikan dampaknya terhadap eksosistem.