Masyarakat Sipil Tolak Diskriminasi Rasial terhadap Papua
Masyarakat sipil turut bersikap atas peristiwa yang dipicu insiden yang dialami mahasiswa Papua di beberapa daerah di Jawa Timur. Mereka meminta semua pihak menghentikan diskriminasi rasial dan pendekatan penyelesaian masalah yang represif oleh masyarakat dan aparat penegak hukum.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil turut bersikap atas peristiwa yang dipicu insiden yang dialami mahasiswa Papua di beberapa daerah di Jawa Timur. Mereka meminta semua pihak menghentikan diskriminasi rasial dan pendekatan penyelesaian masalah yang represif oleh masyarakat dan aparat penegak hukum.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/8/2019), mengecam tindakan persekusi yang dilakukan sejumlah kelompok masyarakat dan beberapa oknum aparat kemanan serta aparatur sipil negara dalam bentuk ujaran rasisme atau diskriminasi terhadap mahasiswa Papua.
”Ujaran-ujaran rasial yang dikeluarkan dalam insiden tersebut mencederai komitmen Indonesia dalam konstitusi,” kata Koordinator Kontras Yati Andriyani.
Konstitusi yang dimaksud, antara lain, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E Ayat 3, Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
Sementara itu, Bendahara Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) sekaligus pemuda asal Sorong, Papua Barat, Irwan Boinauw, berharap agar kondisi tersebut tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang ingin mengadu domba sesama anak bangsa.
Kondisi tersebut diharapkan tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang ingin mengadu domba sesama anak bangsa.
Intoleransi dan diskriminasi pada kalangan minoritas tidak boleh terus-terusan terjadi di Nusantara. Mengutip pernyataan Ahmad Najib Burhani dalam buku Menemani Minoritas (2019), apa yang disebut dalam konstitusi sebagai hak-hak yang sama sebagai warga negara sering kali tidak berlaku penuh untuk kelompok minoritas.
”Untuk itu, kepada seluruh warga Indonesia baik, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, TNI, Polri, atau siapa pun itu, agar memberikan kesejukan kepada masyarakat,” kata Irwan.
Insiden yang dialami mahasiswa Papua di beberapa daerah di Jawa Timur diawali dengan keributan antara sekelompok yang mengatasnamakan Aliansi Muda Papua (AMP) dengan warga saat akan berunjuk rasa di kawasan Balai Kota Malang, Kamis (15/8/2019). Mereka berencana menyuarakan aspirasi terkait perjanjian antara Amerika Serikat dan Indonesia.
Sehari kemudian, sekelompok orang dari organisasi masyarakat tertentu mendatangi asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya. Hal itu menyusul munculnya kabar telah terjadi perusakan bendera Merah Putih di kawasan asrama itu. Saat itu, diduga terjadi insiden ujaran kebencian rasisme terhadap mahasiswa Papua.
Polisi lantas hadir untuk menjaga asrama tersebut. Mereka juga memindahkan 43 penghuninya ke Markas Polrestabes Surabaya untuk mencegah terjadi kericuhan. Polisi lalu melepaskan semua mahasiswa itu pada 16 Agustus malam.
Peristiwa itu kemudian disusul unjuk rasa oleh masyarakat di beberapa daerah di Papua dan Papua Barat, seperti Jayapura, Sorong, dan Manokwari. Berdasarkan laporan Kompas, unjuk rasa yang terjadi sepanjang hari Senin lalu berlangsung damai meski diikuti perusakan sejumlah fasilitas umum.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintah akan menjaga kehormatan dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua dan Papua Barat. Kepala daerah seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Gubernur Papua Lukas Enembe juga berkomitmen melindungi mahasiswa Papua dan masyarakat trans atau perantau di Papua.