Menanti Gerakan Politik Muhaimin
Pada 2005, Muhaimin Iskandar berseteru dengan pendiri dan Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur saat itu memecat Muhaimin dari posisi Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB.
Konflik itu berujung pada dualisme kepemimpinan antara kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin. Perselisihan berlangsung sampai gugatan di tingkat kasasi di Mahkamah Agung, dengan pihak Muhaimin pada akhirnya memenangi seluruh rangkaian proses hukum tersebut.
Turbulensi politik internal partai itu membuat raihan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merosot dari 10,61 persen pada Pemilu 2004 menjadi 4,95 persen pada Pemilu 2009.
Sejak menang dalam perseteruan lewat meja hijau, Muhaimin mulai mengambil alih kendali partai. Melalui jabatan ketua umum, Muhaimin memainkan peran keduanya, yakni sebagai penebus merosotnya perolehan suara PKB setelah konflik internal.
Peran itu ia tunjukkan pada Pemilu 2014 dengan naiknya perolehan suara PKB menjadi 9,04 persen. Pada Pemilu 2019, PKB konsisten mempertahankan peningkatan suara, yakni menjadi 9,69 persen. PKB ada di peringkat keempat ”klasemen” partai pemenang pemilu.
Kini, lewat Muktamar PKB pada 20-21 Agustus 2019 di Bali, Muhaimin diprediksi akan kembali terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi untuk masa jabatan lima tahun ke depan.
Sebelum muktamar, seluruh dewan pengurus wilayah PKB disebut telah memberikan mandat kepada Muhaimin. Jika kembali dikukuhkan pada muktamar pekan ini, Muhaimin akan memimpin PKB tiga periode sejak pertama kali terpilih pada 2008.
Apa yang membuat posisi Muhaimin tidak tergoyahkan selama tiga periode? Mengutip kata-kata politisi sekaligus mantan Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding, ”Memangnya ada (figur) lain yang bisa menandingi Cak Imin? Tidak ada. Cak Imin itu sudah sangat kuat.”
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan, Muhaimin dinilai berhasil memimpin PKB melewati masa-masa krisis. ”Seluruh DPW sudah memberi mandat. Muktamar tinggal mengukuhkan Cak Imin sebagai ketua umum,” ujarnya.
Strategi unik
Peneliti politik Islam dari Australian National University Greg Fealy dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the Politics Trap pada Juli 2018 menulis, salah satu keunggulan Muhaimin adalah ia mampu mengonsolidasikan kekuatan basis pemilih tradisional PKB, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Tidak hanya mengonsolidasikan basis pemilih NU hingga solid, Muhaimin juga terkenal dengan strategi uniknya. Pada Pemilu 2014, Muhaimin mampu mendongkrak perolehan suara PKB lewat memunculkan sosok pedangdut Rhoma Irama, sebagai bakal calon presiden yang akan diusung PKB.
Kampanye terbuka yang dihadiri Rhoma Irama pada Pemilu 2014 tak pernah sepi. Kehadiran sosok Rhoma terbukti menambah gairah mesin partai di akar rumput sehingga membantu PKB mengonsolidasikan kekuatan dan mendongkrak lagi suaranya setelah sempat turun drastis pada 2009.
Strategi unik Muhaimin kembali diterapkan pada Pemilu 2019. Dengan penuh kepercayaan diri, Muhaimin terus mempromosikan dirinya sebagai bakal calon wakil presiden dari calon presiden petahana, Jokowi. Ia konsisten mengampanyekan ”Join”, akronim dari ”Jokowi-Muhaimin”.
Secara psikologis, strategi Muhaimin itu dinilai efektif membakar semangat kader di akar rumput dan memaksimalkan efek ekor jas (coattail effect) dari sosok Jokowi. PKB juga pada saat yang sama diuntungkan secara elektoral dengan dipilihnya tokoh NU Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi.
Memperluas basis
Pemilu 2024 ke depan menyimpan tantangan yang sama sekali baru, apalagi jika PKB dan Muhaimin ingin lebih unjuk gigi lewat pemilihan presiden. Setelah Pemilu 2019, nama Muhaimin kerap disebut para elite PKB sebagai sosok yang pas untuk diusung partai pada Pemilu 2024. Dengan begitu, PKB perlu mencari strategi untuk bisa semakin mendorong posisi partai di klasemen politik nasional.
Untuk itu, melalui Muktamar 2019, PKB berikhtiar memperluas basis pemilih. Secara geografis, misalnya, PKB akan mulai menyasar daerah luar Jawa. Ada pula niatan untuk menggarap kelompok pemilih di luar NU, yang selama ini menjadi basis pemilih tradisional partai itu.
Sejauh ini, sumbangan terbesar suara PKB masih berasal dari pemilih tradisional di Jawa dan kelompok NU. Merujuk data Litbang Kompas, Jawa Timur menyumbang 52,75 persen dari total suara PKB pada Pemilu 1999. Pada Pemilu 2014, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga kembali dominan menyumbang suara untuk PKB hingga lebih dari 50 persen suara nasional.
Muhaimin menjelaskan, untuk menjangkau basis pemilih lain, PKB akan lebih intensif menggarap golongan muda dengan lebih interaktif di media sosial. Di samping itu, PKB juga bakal menggarap pemilih di lini sektoral, antara lain petani, nelayan, dan guru. ”Jadi, sudah tidak dilihat lagi NU atau bukan NU-nya,” kata Cak Imin.
Daniel Johan menambahkan, PKB sejak awal mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka. Meski terlahir dari rahim NU, partai ini tetap menjadi rumah bagi semua golongan. Ikhtiar ke arah itu, katanya, akan terefleksi dari kepengurusan baru di muktamar, pekan ini. Struktur kepemimpinan yang kemungkinan akan kembali dipimpin Cak Imin itu bakal merefleksikan semua unsur kebangsaan.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, berpendapat, untuk memperluas basis pemilih, PKB harus membenahi struktur. Menurut dia, jangan lagi hanya tokoh ”berdarah biru” yang bisa mengisi posisi kunci di kepengurusan tingkat pusat. Intelektual muda nondarah biru, baik dari keluarga besar NU maupun non-NU, juga harus diberi kesempatan.
Dengan transformasi struktur kepengurusan yang lebih inklusif dan terbuka, PKB berpeluang melakukan penetrasi ke wilayah lain. Struktur partai yang rasional, katanya, juga akan menarik perhatian pemilih-pemilih rasional. ”Tak ada yang meragukan komitmen PKB soal kebangsaan. Tantangannya bagaimana menerjemahkan kebangsaan itu dengan lebih konkret,” katanya.
Dua perhelatan pemilu terakhir menjadi bukti kesaktian jurus politik Muhaimin dalam menakhodai PKB. Bagaimana dengan sepak terjang PKB lima tahun ke depan? Waktu yang akan menjawab.
(AGNES THEODORA/INSAN ALFAJRI)