Ketimpangan produksi antarwaktu menjadi faktor pemicu fluktuasi harga. Padahal, secara akumulatif, data produksi tahunan semestinya cukup dan bahkan surplus.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Jika Anda pergi ke pasar tradisional hari-hari ini, lalu berdiri di belakang pedagang cabai beberapa menit saja, barangkali akan mendapati wajah kecut atau komentar sinis pembeli. Harga cabai tengah mencapai titik tertinggi. Jauh di atas ekpektasi pembeli. Maka, tak jarang cabai dijual biji per biji, sering tanpa ditimbang.
Pada Senin (19/8/2019), harga rata-rata cabai merah besar secara nasional, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, mencapai Rp 60.000 per kilogram (kg), sementara rata-rata harga cabai rawit Rp 66.750 per kg.
Di pasar-pasar tradisional di DKI Jakarta, rata-rata harga cabai rawit masih Rp 89.976 per kg. Rata-rata harga pada awal pekan ini lebih rendah dibandingkan pekan lalu, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata tujuh bulan sebelumnya, sekitar tiga kali lipat dari harga pada pertengahan Juni 2019.
Fluktuasi harga cabai memang bukan hal baru. Harga naik turun mengikuti fluktuasi pasokan yang timpang. Sejak bertahun-tahun lalu ketimpangan itu menjadi pekerjaan rumah dan tak kunjung tuntas hingga kini. Saat minim pasokan, harga cabai membebani pembeli. Sebaliknya, saat panen raya, giliran petani jadi korban karena harga jual cabai anjlok, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan ongkos petiknya.
Dua bulan terakhir, harga cabai menjadi komoditas utama penyumbang inflasi kelompok bahan makanan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), cabai merah menjadi penyumbang terbesar inflasi kelompok bahan makanan pada Juni 2019 yang mencapai 0,38 persen. Pada Juli 2019, cabai merah besar menyumbang inflasi 0,2 persen, sementara cabai rawit menyumbang 0,06 persen.
Tahun ini, produksi cabai merah diproyeksikan mencapai 1,12 juta ton, semestinya cukup dengan perhitungan kebutuhan konsumsi 424.739 ton dan kebutuhan industri 581.278 ton. Produksi cabai rawit yang diproyeksikan 986.907 ton juga cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi langsung sebanyak 393.653 ton serta kebutuhan industri yang mencapai 488.519 ton.
Akan tetapi, selain produksi antarwaktu yang timpang, fluktuasi harga dipengaruhi oleh kebutuhan yang juga berubah. Oleh karena itu, selain memeratakan produksi antarwaktu, pekerjaan rumah yang tak kalah penting adalah mempromosikan konsumsi cabai olahan dan menyiapkan infrastruktur atau teknologi yang memungkinkan masa penyimpanan lebih lama.
Pemerataan lokasi produksi juga perlu jadi pertimbangan. Sebab, 59,33 persen produksi cabai rawit selama kurun 2011-2015 hanya berasal dari tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sementara 55,57 persen produksi cabai merah selama kurun waktu itu berasal dari Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah.
Seperti halnya komoditas pertanian lain, perhatian lebih besar mesti diberikan kepada petani, aktor utama produksi pangan kita. Segenap regulasi, program, dan subsidi semestinya berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satu yang krusial adalah harga jual. Dengan menjaga harga jual di tingkat petani menguntungkan, motivasi petani untuk berproduksi dan memacu produktivitas akan terjaga.