Musyawarah Nasional Ulama yang menjadi rangkaian tak terpisahkan dari Muktamar PKB di Nusa Dua, Bali, 20-21 Agustus 2019, mengevaluasi metode berdakwah. Ke depan, metode berdakwah NU diharapkan tetap bisa sampai ke umat Islam di tengah tantangan perkembangan teknologi informasi.
Oleh
INSAN ALFAJRI/AGNES THEODORA
·2 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Musyawarah Nasional Ulama yang menjadi rangkaian tak terpisahkan dari Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa di Nusa Dua, Bali, 20-21 Agustus 2019, mengevaluasi metode berdakwah. Ke depan, metode berdakwah Nahdlatul Ulama diharapkan tetap bisa sampai ke umat Islam di tengah tantangan perkembangan teknologi informasi.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) Ulama di Nusa Dua, Bali, Selasa (20/8/2909) siang, mengatakan, munas untuk merevitalisasi dan mengevaluasi metode dakwah secara menyeluruh. Ciri khas Nahdlatul Ulama (NU) yang berdakwah dengan cara damai harus tetap menjadi bagian di tengah kencangnya arus informasi.
Muhaimin mengingatkan, dunia berubah begitu cepat. Jika tidak berbenah, NU akan tertinggal dalam perjalanan kebangsaan dan keumatan.
”Jika tidak tanggap menghadapi tantangan mesin besar bernama teknologi informasi, dakwah NU akan ketinggalan,” katanya.
Munas Ulama dihadiri sejumlah petinggi NU, seperti Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, Gus Yahya Staquf, Gus Miftah, dan Nadirsyah Hosen.
Dalam kesempatan yang sama, Said Aqil mengajak peserta yang hadir untuk kembali memaknai metode dakwah Wali Songo. Selain penuh kedamaian, Wali Songo sangat mementingkan substansi dalam menyampaikan dakwah. Ulama itu bahkan disebutnya tidak pernah mementingkan eksistensi diri.
Buktinya, ujarnya, para wali itu lebih dikenal dengan nama wilayah ketimbang namanya secara pribadi. Oleh sebab itu, dia mengajak seluruh warga NU untuk memiliki prinsip dalam berdakwah. Salah satu prinsip itu adalah menempatkan Islam dan kebangsaan sebagai satu kesatuan.
Gus Miftah melihat, pengaruh dakwah NU masih terbatas pada kelas masyarakat bawah. Sementara kelas menengah-atas belum sepenuhnya tersentuh. Padahal, menurut dia, NU harus berani menyentuh kelas menengah-atas karena segmen masyarakat ini juga berisiko terpapar fanatisme agama.
Nadirsyah Hosen menambahkan, fanatisme agama yang menyelubungi sebagian kelas menengah disebabkan oleh pragmatisme dalam beragama.
”Mereka cuma butuh statement, misalnya haram atau halal. Tidak butuh penjelasan tentang sesuatu,” katanya.
NU disebutnya berpeluang untuk meluaskan dakwah ke kalangan kelas menengah ini. Untuk itu, dibutuhkan kiai NU yang mumpuni. Selain itu, dibutuhkan tim teknis untuk menyebarluaskan konten ceramah. Konten diformat sedemikian rupa sehingga menjangkau dan mudah dipahami kelas menengah tersebut.
Sementara untuk PKB sebagai partai politik yang lahir dari rahim NU, Nadirsyah memberikan sejumlah masukan. Salah satunya, PKB harus mengenali dimensi ruang dan waktu dalam berdakwah. PKB juga dituntut untuk mengenali aktor dan agen budaya modern. Hal lain, PKB harus meningkatkan jejaringnya dan penguasaan teknologi.
”Jangan hanya terus-terusan mengandalkan jumlah, tetapi lupa membangun keterkaitan antara sesama kita,” katanya.