DHAKA, SELASA -- Proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar berlanjut. Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) dan Pemerintah Bangladesh memulai konsultasi untuk mengetahui kesediaan lebih dari 3.500 pengungsi Rohingya untuk kembali ke Myanmar.
Secara total, Bangladesh menampung hampir satu juta pengungsi Rohingya. Jumlah pengungsi bertambah secara signifikan sejak terjadi persekusi militer di Rakhine, Myanmar, Agustus 2017. Repatriasi menjadi pilihan mendesak sebab keberadaan pengungsi tersebut mulai memengaruhi dinamika masyarakat di sana.
Bangladesh telah mengirim data sekitar 22.000 pengungsi Rohingya yang dapat kembali ke Myanmar. Dari jumlah tersebut, Naypyidaw menyatakan 3.450 orang aman untuk kembali.
“Survei kesediaan pengungsi dimulai hari ini. Bersama-sama, Pemerintah Bangladesh dan UNHCR akan menanyakan para pengungsi ini untuk berdiskusi mengenai pilihan repatriasi,” ujar juru bicara UNHCR Louise Donovan, di Cox\'s Bazar, Bangladesh, Selasa (20/8/2019).
Komisaris Bantuan dan Repatriasi Pengungsi Pemerintah Bangladesh, Mohammad Abul Kalam menambahkan, perwakilan Pemerintah Bangladesh turut hadir dalam sesi survei tersebut. Akan tetapi, para pengungsi tidak akan dipaksa untuk kembali kecuali mereka sukarela.
“Pusat transit, fasilitas transportasi, semuanya telah siap untuk proses repatriasi pada Kamis (22/8/2019). Rencananya, Bangladesh dan Myanmar akan melakukan repatriasi 300 pengungsi setiap harinya,” katanya.
Juru bicara Pemerintah Myanmar, pekan lalu, mengatakan, Myanmar telah memeriksa daftar pengungsi dari Bangladesh untuk menentukan mereka pernah tinggal di Myanmar atau tidak. Mereka juga diselidiki apakah terlibat dengan Pasukan Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA) yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris.
Menurut UNHCR, wawancara rahasia kedua bagi pengungsi lainnya yang ingin untuk kembali akan segera dilakukan. Pengungsi akan ditanyakan alasan ingin kembali secara sukarela dalam sebuah formulir.
Keamanan
Organisasi kemanusiaan Oxfam meminta agar komunitas internasional terus meningkatkan tekanan diplomatik kepada Myanmar. Organisasi asal Inggris ini menyatakan kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar.
“Oxfam tetap merasa prihatin atas pelanggaran HAM di Myanmar dan berharap pemerintah akan mengambil kesempatan ini untuk mengakui keseteraan hak warga Rohingya dan mencabut larangan yang mengekang kebebasan mereka,” kata pejabat Oxfam, Elizabeth Hallinan.
Sebelumnya, sebuah upaya repatriasi 2.260 orang pengungsi pada November 2018 gagal. Pengungsi masih ketakutan atas ancaman persekusi. Naypyidaw selama ini enggan mengakui Rohingya sebagai warga negara sehingga mereka tidak memeroleh akses untuk memeroleh akses pendidikan, kesehatan, dan pemilihan umum. Warga Rohingya dianggap sebagai penyelundup dari Bengali.
Selama ini, ASEAN terus mengupayakan agar Myanmar menjamin keamanan warga Rohingya. Namun, upaya yang lebih tegas sulit diterapkan karena organisasi ini menganut asas untuk tidak mengintervensi urusan negara lain.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mendiskusikan rencana repatriasi Rohingya secara tertutup pada Rabu (21/8/2019). Diskusi ini merupakan permintaan dari Belgia, Inggris, Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat. (REUTERS/AFP)