Akademisi dan Generasi Milenial Jadi Target Paham Radikal
Kelompok teroris diyakini terus mengembangkan diri dan beradaptasi guna memperluas jaringan. Salah satunya yakni membajak fungsi rumah ibadah di perguruan tinggi maupun perumahan untuk menyebarkan paham radikal. Kalangan akademisi dan generasi milenial menjadi target.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kelompok teroris diyakini terus mengembangkan diri dan beradaptasi guna memperluas jaringan. Salah satunya dengan membajak fungsi rumah ibadah di perguruan tinggi ataupun perumahan untuk menyebarkan paham radikal. Kalangan akademisi dan generasi milenial menjadi target.
Hal itu mengemuka dalam dialog tentang ”Pelibatan Civitas Akademika dalam Pencegahan Terorisme” di Bandar Lampung, Selasa (30/8/2019). Acara itu diikuti oleh dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa di Universitas Lampung.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal (Pol) Hamli mengatakan, kalangan akademisi dan generasi milenial merupakan kelompok yang rentan terpapar radikalisme. Pemahaman tentang radikalisme dan terorisme disampaikan dalam pertemuan keagamaaan yang berlangsung di masjid, asrama perguruan tinggi, ataupun rumah kos.
Ajakan untuk masuk ke kelompok radikal berlanjut lewat komunikasi di media sosial. ”Mereka menanamkan kebencian pada kelompok yang berbeda. Di sinilah pintu masuk pemahaman tentang radikalisme,” kata Hamli.
Berdasarkan data BNPT, sejumlah pelaku teror merupakan lulusan sejumlah perguruan tinggi. Dari hasil operasi penangkapan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, terduga teroris yang ditangkap di Jawa Barat merupakan kalangan anak muda berusia 21-26 tahun. Generasi milenial rentan dijadikan target jaringan terorisme karena merupakan pengguna aktif internet dan media sosial.
Lemahnya pengawasan di rumah ibadah dan perguruan tinggi bisa memberikan ruang gerak yang leluasa bagi kelompok radikal untuk menduduki tempat strategis tersebut.
Untuk itu, BNPT terus berkeliling ke sejumlah perguruan tinggi untuk memberikan pemahaman kebangsaan yang mulai meredup. Seluruh elemen kampus, mulai dari dosen, tenaga kependidikan, hingga mahasiswa dilibatkan dalam dialog menangkal radikalisme. Pemahaman kebangsaan penting dipahami di tengah perubahan zaman dan pola praktik teror dalam masyarakat.
Pihaknya tak ingin lemahnya pengawasan di rumah ibadah dan perguruan tinggi memberikan ruang gerak yang leluasa bagi kelompok radikal untuk menduduki tempat strategis tersebut. Pemangku kepentingan di lembaga pendidikan perlu menyadari bahwa jaringan teroris senantiasa beradaptasi. Metode dan bentuk ajakan dalam paham terorisme juga semakin bervariasi.
Masyarakat, khususnya keluarga, juga perlu melakukan deteksi dini dan aktif mengambil bagian dalam upaya pencegahan terorisme. Sebagai contoh, salah seorang orangtua di Bandar Lampung pernah melaporkan anaknya kepada polisi karena ia diduga terpapar paham radikal.
Kepala Bidang Keagamaan dan Sosial Budaya Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Abdul Syukur menuturkan, kearifan lokal dapat meredam paham radikal. Nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan lokal dan interaksi sosial antarmasyarakat dapat menjadi upaya pencegahan terorisme di hulu.
Kurnia Widodo, bekas narapidana terorisme, mengungkapkan, dirinya mulai terpapar paham radikal sejak duduk di bangku SMA pada 1991. Pemahaman dan jaringan Kurnia terhadap ekstremisme semakin menguat saat dia lulus SMA tahun 1992 dan kuliah di Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa kuliah, Kurnia belajar merakit bom dengan panduan buku.
Titik balik yang membuatnya sadar akan bahaya terorisme adalah saat ia bertemu dengan para korban aksi bom. Di situ dia merasa sedih, empati, dan menyesal telah melukai banyak orang yang tidak bersalah. Selama di penjara, dia juga kerap berdiskusi dengan tokoh yang berpandangan berbeda dari paham radikal.