Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan masih nyata. Penghargaan kepada perempuan belum setara dengan penghargaan kepada laki-laki, pun dalam bidang ekonomi.
JAKARTA, KOMPAS – Kendati hingga kini tidak ada angka yang pasti berapa jumlah perempuan di Tanah Air yang hidup dalam kemiskinan, sejumlah situasi di lapangan menggambarkan potret kemiskinan yang sangat lekat dengan perempuan. Bahkan kemiskinan yang dialami keluarga dengan kepala keluarga perempuan kondisinya lebih buruk dibandingkan kepala keluarga laki-laki.
“Kemiskinan perempuan tidak semua harus dijelaskan dengan angka, karena itu ada pada kualitas dan akses yang didapatkan perempuan. Misalnya petani, kalau perempuan tidak dihargai sedangkan laki-laki dihargai, sama-sama pergi ke sawah. Perempuan nelayan tidak pernah disebut sebagai nelayan atau pekerja informal, selama ini tidak pernah dikenal oleh regulasi,” ujar Iswanti, dari lembaga Mitra Imadei, pada Lokakarya Live Streaming “Review Organisasi Masyarakat Sipil atas 25 Tahun Implementasi Kerangka Aksi Beijing (BPFA+25) di Indonesia” di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) bekerjasama dengan UN Women dan didukung Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tersebut dalam rangka mempersiapkan penulisan Review atas Implementasi Kerangka Aksi Beijing (BPFA+25).
Iswanti bersama Charletty Choesyana Taulu dan Lia Tono Suratman dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani) memaparkan berbagai situasi kemiskinan yang dialami perempuan karena berbagai diskriminasi yang dialami perempuan selama ini. Masih banyak pekerjaan dan karya perempuan tidak dihargai secara nominal.
Iswanti mengatakan, tingkat kemiskinan perempuan yang lebih tinggi dari laki-laki tergambar dalam Survei Ekonomi Nasional 2017. “Bahkan kajian Bappenas 2018, upah nominal perempuan cenderung meningkat, akan tetapi rata-rata upah perempuan pekerja hanya sekitar 79 persen dari upah laki-laki. Artinya masih ada diskriminasi upah antara pekerja dan laki-laki,” katanya.
Kajian Bappenas 2018, upah nominal perempuan cenderung meningkat, akan tetapi rata-rata upah perempuan pekerja hanya sekitar 79 persen dari upah laki-laki.
Kemiskinan juga tersembunyi dalam keluarga yang dikepalai oleh perempuan atau perempuan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga. “Datanya sendiri sudah bias, sehingga tidak diakui pekerjaan-pekerja perempuan. Padahal perempuan bekerja di pertanian, perkebunan, perikanan, dan lain-lain,” kata Iswanti.
Ia mencontohkan, pada 2012 Sekretariat Nasional Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) melakukan pendataan di 111 desa (dari 700 desa) wilayah kerja Pekka di 17 provinsi, 19 kabupaten, dan 35 kecamatan. Pendataan yang menggunakan pendekatan sensus mendata 89.960 keluarga yang terdiri atas 15.644 keluarga (kepala keluarga perempuan) dan 74.316 keluarga (kepala keluarga laki-laki). Hasilnya, kemiskinan yang dialami keluarga dengan kepala keluarga perempuan lebih buruk daripada keluarga dengan kepala keluarga laki-laki.
Di bidang kesehatan, Atas Hendartini Habsjah dari Yayasan Kesehatan Perempuan juga memaparkan perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki dapat mengakibatkan perbedaan dalam status kesehatan. Kenyataannya perempuan di suatu masyarakat tertentu, masih mengalami diskriminasi dan stigmatisasi, serta masih berlaku berbagai tabu terkait tubuh perempuan sehingga berakibat buruk terhadap status kesehatannya.
“Kesehatan perempuan Indonesia kenyataanya masih memprihatinkan. Dalam dua dasawarsa angka kematian ibu masih tetap di atas 300 per 100.000 kelahiran hidup. Secara global angka kematian ibu yang tinggi merupakan indikasi kualitas hidup perempuan yang masih rendah. Ini adalah suatu pelanggaran hak kelangsungan hidup serta gagalnya suatu negara memberikan perlindungan kesehatan reproduksi yang holistik dan integratif,” kata Atas.
Secara global angka kematian ibu yang tinggi merupakan indikasi kualitas hidup perempuan yang masih rendah.
Data penelitian 2016 menunjukkan sebanyak 56,90 persen kematian ibu terjadi saat 0-42 hari setelah melahirkan atau pada masa nifas, 22,4 persen saat kehamilan, dan 14,6 persen saat persalinan.
Tindak lanjut Aksi Beijing
Rita Serena Kalibonso, Koordinator GPPI mengatakan, tahun 2020 akan menjadi peringatan 25 tahun sejak Konferensi Perempuan Sedunia ke IV the United Nations Fourth World Conference on Women (FWCW) yang berlangsung di Beijing, China pada tahun 1995. Pertemuan FWCW menghasilkan Kerangka Aksi Beijing 1995.
“Ini menjadi rancangan besar untuk kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan, setelah ditetapkannya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW. Indonesia adalah salah negara yang meratifikasinya tahun 1984,” katanya.
Kerangka Aksi Beijing merumuskan 12 bidang yang menjadi perhatian khusus yang berkaitan dengan perempuan antara lain kemiskinan, pendidikan dan pelatihan, kesehatan, kekerasan, ekonomi, kekuasaan, dan mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan, hak asasi perempuan, media, lingkungan, dan anak perempuan.
Pada Maret 2020 akan dilaksanakan tinjauan ulang dan penilaian global dari implementasi Kerangka Aksi Beijing pada Sidang ke 64 dari Komisi PBB tentang Status Perempuan/ UNCSW di New York.