Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Komunikasi dan Informatika pada periode 2015-2019 selalu paling besar dibandingkan dengan kementerian/lembaga lain. Bea hak penggunaan spektrum frekuensi diyakini menjadi sumber utama penyumbang PNBP dari kementerian ini.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Komunikasi dan Informatika pada periode 2015-2019 selalu paling besar dibandingkan dengan kementerian/lembaga lain. Bea hak penggunaan spektrum frekuensi diyakini menjadi sumber utama penyumbang PNBP dari kementerian ini.
Nilai PNBP Kementerian Kominfo sebesar Rp 14,7 triliun pada 2015. Nilai itu meningkat menjadi Rp 14,9 triliun pada 2016 dan Rp 17,8 triliun pada 2017. Adapun pada 2018 nilainya Rp 17,7 triliun. Sementara PNBP tahun ini diperkirakan sebesar Rp 16,5 triliun.
Sumber PNBP lain di antaranya pendapatan hak penyelenggaraan telekomunikasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio.
”Rata-rata kenaikan PNBP Kementerian Kominfo sebesar 3 persen per tahun,” kata Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemkominfo Ferdinandus Setu, Selasa (20/8/2019), di Jakarta.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, potensi terbesar PNBP Kemkominfo berasal dari sumber bea hak penggunaan frekuensi. Lelang spektrum yang dimenangi oleh operator telekomunikasi menjadi pendongkrak utama PNBP.
”Pemerintah seharusnya sejak dulu memperhatikan potensi aset tidak tampak ini (spektrum frekuensi). Kami memperhatikan, baru pada 2014 mulai peduli. Dengan tren teknologi akses seluler 5G, pemerintah semestinya sudah bersiap akan adanya penerimaan besar bea hak penggunaan,” ujarnya.
Anggota Dewan Pengawas Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Ridwan Effendi, yang dihubungi terpisah, berpendapat, kontribusi besar PNBP bukan tolok ukur semata-mata prestasi industri telekomunikasi.
Hal yang perlu ditekankan adalah pertumbuhan sehat industri telekomunikasi sehingga berkontribusi terhadap perekonomian, lalu akhirnya menyumbang penerimaan pajak.
Ridwan mengatakan, saat ini tantangan yang dihadapi oleh industri telekomunikasi tidak mudah. Sebagai gambaran, jumlah kuota lebar pita layanan data internet yang disediakan operator selalu dikonsumsi secara cepat oleh pengguna, sedangkan pendapatan operator dari produk ini tidak mengalami peningkatan signifikan.
Selain itu, nilai pungutan PNBP sudah besar. Dia menyarankan, pada jangka panjang, pemerintah perlu merumuskan metode baru untuk menghitung PNBP yang harus dibayar operator, tetapi tidak memberatkan industri. Penghitungannya tidak bisa secara linier.
Sebagai ilustrasi, sekarang bea hak penggunaan frekuensi telah mencapai Rp 1 triliun untuk lebar pita 30 MHz di frekuensi 2,3 GHz. Pada era 5G, kebutuhan kuota lebar pita akan lebih besar sehingga lebar pita yang diperlukan adalah 100 Mhz per operator. Pemerintah tidak boleh memungut bea hak penggunaan secara linear, sama dengan harga lebar pita 30 MHz karena akan memberangkat ongkos operator.
”Perbaikan skema pungutan PNBP adalah salah satu upaya penyehatan industri telekomunikasi,” kata Ridwan. (MED)