JAKARTA, KOMPAS — Isi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dinilai masih mengecewakan. Perbedaan utama dengan instruksi-instruksi serupa yang diturunkan dua tahunan sejak 2011 hanya pada jangka waktu yang ditiadakan.
Sinyal peniadaan jangka waktu atau penghentian permanen pemberian izin baru tersebut telah berulang kali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Meskipun beberapa pihak menyambut baik penghentian permanen, diprediksi masih akan terjadi pengurangan hutan alam primer atau bertutupan hutan bagus serta lahan gambut dengan memanfaatkan sejumlah celah.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya, Selasa (20/8/2019), di Jakarta, mengatakan, Inpres No 5/2019 masih seperti inpres sebelumnya yang berisi pengecualian yang melemahkan perlindungan hutan dan lahan gambut. Pada inpres terbaru ini pengecualian pun diperbanyak pada delapan hal.
Inpres No 5/2019 masih seperti inpres sebelumnya yang berisi pengecualian yang melemahkan perlindungan hutan dan lahan gambut.
Kedelapan pengecualian tersebut yaitu permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip atau izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dari Menteri Kehutanan sebelum terbitnya Instruksi Presiden No 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu panas bumi, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk program kedaulatan pangan nasional, antara lain padi, tebu, jagung, sagu, kedelai, dan singkong.
Pengecualian lain pada perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku yang memenuhi syarat kelestarian, restorasi ekosistem, kegiatan terkait pertahanan dan keamanan negara, jalur evakuasi korban bencana alam dan penampungan sementara korban bencana alam, penyiapan pusat pemerintahan/ibu kota pemerintahan/kantor pusat pemerintahan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, infrastruktur yang merupakan proyek strategis nasional yang ditetapkan dengan peraturan presiden dan peningkatan infrastruktur eksisting, dan prasarana penunjang keselamatan umum.
Muhammad Teguh Surya mengatakan, pengecualian pada pembangunan infrastruktur strategis nasional tersebut dinilai tak transparan. Ia menunjukkan sejumlah peraturan atau regulasi yang memuluskan proyek-proyek jalan tol tersebut tanpa harus memenuhi kajian risiko lingkungan pada izin lingkungan.
Madani juga memiliki temuan areal hutan alam primer dan lahan gambut yang dilindungi, yang termuat dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), tidak turut dipermanenkan dikarenakan akan direvisi setiap enam bulan.
Selama periode 2011-2019, pelaksanaan inpres telah terjadi pengurangan seluas 3 juta hektar tanpa penjelasan secara utuh dan pada PIPPIB revisi 15 terdapat 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang izinnya tumpang tindih yang tersebar di delapan provinsi, yaitu Gorontalo, Papua, Papua Barat, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Riau dengan luas mencapai 1 juta hektar.
Perhutanan sosial
Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, pun mengkritik pengecualian tak memasukkan program perhutanan sosial. Hal ini menjadi penghambat janji Presiden Joko Widodo untuk memberikan 12,7 juta hektar perhutanan sosial.
Ia menyayangkan penghentian permanen perizinan tidak diiringi penetapan peta secara tetap. Pada Inpres No 5/2019, Presiden tetap memerintahkan KLHK untuk menyusun PIPPIB yang direvisi setiap enam bulan sekali.
Celah itu, kata Zenzi, bisa menjadi celah untuk mengutak-atik atau menggeser wilayah moratorium dari tiap versi PIPPIB, di antaranya dengan memanfaatkan status perlindungan yang hanya pada hutan alam primer. Modusnya, kawasan hutan alam primer itu kemudian didegradasi menjadi hutan sekunder, baru dijejali izin/pelepasan.
Modus lain, menurut dia, yaitu melalui celah pelepasan kawasan hutan untuk tata ruang dengan memanfaatkan usulan daerah untuk merevisi tata ruang. Hal ini membuat pelepasannya bukan kategori izin di KLHK.
”Ketiganya (revisi PIPPIB tiap enam bulan, perlindungan pada hutan alam primer, dan tata ruang) itu dipadukan akan menjadi jurus jitu lolos dari moratorium, kawasannya dilepaskan (lolos karena bukan rezim izin), selanjutnya proses pendegradasian, selanjutnya diusulkan untuk direvisi enam bulan kemudian, agar kepala daerah dapat menerbitkan izin atau Badan Pertanahan Nasional menerbitkan hak guna usaha (HGU),” tuturnya.
Dalam siaran pers Sekretariat Kabinet 20 Agustus 2019 disebutkan, Inpres No 5/2019 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 7 Agustus 2019 dalam rangka penyelesaian upaya perbaikan dan penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut. ”Pemerintah memandang perlu upaya berkesinambungan untuk menyelamatkan keberadaan hutan alam primer dan lahan gambut, serta upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan”, demikian siaran pers tersebut.