Pembebasan tanker Iran, Grace 1, belum membuat krisis di kawasan mereda. Sebaliknya, situasi dirundung ketidakpastian setelah Amerika Serikat ngotot berupaya mencegat tanker itu.
KAIRO, KOMPAS— Krisis tanker Iran, Grace 1, yang kini berubah nama menjadi Adrian Darya 1, ternyata belum berakhir. Setelah diberitakan tercapai transaksi Iran-Eropa untuk mengakhiri krisis tanker Iran itu, kini Amerika Serikat beraksi untuk terus berusaha menahan atau mencegat tanker Iran, Adrian Darya 1, itu.
Tanker Iran tersebut diberitakan kini sedang berlayar dari Selat Gibraltar menuju Kalamata, Yunani, setelah otoritas Gibraltar memutuskan untuk membebaskan kapal itu pada Kamis pekan lalu. Dijadwalkan tanker Adrian Darya 1 yang berbendera Iran itu akan tiba di Kalamata pada Minggu (25/8/2019).
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif, Selasa (20/8), di Helsinki, Finlandia, mengatakan bahagia atas berakhirnya krisis tanker dan berharap bisa membantu menurunkan ketegangan.
Di sela-sela lawatannya ke negara-negara Eropa Skandinavia itu, Zarif menegaskan, AS tidak memiliki dasar hukum untuk mengeluarkan perintah penahanan tanker Adrian Darya 1. Lagi pula, nota perintah penahanan dari AS dilatarbelakangi motif politik yang hanya akan meningkatkan ketegangan.
Pernyataan itu muncul setelah AS bermanuver untuk bisa menahan atau mencegat Adrian Darya 1 yang kini sedang mengarungi perairan Laut Tengah menuju Yunani.
Seperti diketahui, setelah otoritas Gibraltar memutuskan membebaskan tanker Iran itu Kamis pekan lalu, AS pada Minggu (18/8) memutuskan memindah wilayah operasi kapal perang fregat USS Porter dari Laut Hitam ke Laut Tengah bagian Timur.
Fregat USS Porter, seperti diberitakan harian Al Quds Al Arabi yang terbit di London, kini tengah bergerak dari Laut Hitam ke Laut Tengah bagian timur.
Menurut harian tersebut, AS bisa jadi menyiapkan USS Porter untuk menghadang atau menahan Adrian Darya 1 apabila mencoba menuju perairan Suriah atau Lebanon di Laut Tengah bagian timur.
Sikap AS
Sebelumnya, Menlu AS Mike Pompeo dalam wawancara dengan jaringan televisi Foxnews, hari Senin lalu, menyayangkan keputusan otoritas Gibraltar yang membebaskan tanker Adrian Darya 1.
Menurut Pompeo, langkah Teheran menjual minyak yang diangkut kapal itu berandil besar mendanai Garda Revolusi Iran menciptakan kehancuran, ketakutan, dan membunuh warga AS di seantero dunia.
Pompeo mengatakan, Iran kerap mendapatkan keuntungan dari pengapalan minyak. Selanjutnya, Garda Revolusi Iran juga akan mendapat tambahan dana, tambahan kekayaan, dan tambahan pendanaan, yang memungkinkan mereka melanjutkan aktivitas terorisnya.
Pompeo lalu memperingatkan Pemerintah Yunani dan semua negara yang memiliki pelabuhan di Laut Tengah jika bekerja sama dengan tanker Iran itu.
Kementerian Luar Negeri AS, seperti diberitakan kantor berita Reuters, Senin (19/8), telah melayangkan peringatan keras kepada Yunani yang akan menjadi tempat tanker itu berlabuh. Menurut Reuters, langkah apa pun untuk membantu tanker Iran tersebut akan dilihat sebagai membantu organisasi yang ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh AS.
AS pada 8 April lalu telah menetapkan Garda Revolusi Iran sebagai organisasi teroris. Garda Revolusi Iran adalah lembaga semimiliter di Iran yang dibentuk pada 22 April 1979 atas perintah Pemimpin Revolusi Iran Ayatollah Imam Khomeini untuk menjaga, mengawal, dan mempertahankan revolusi Iran melawan musuh yang berusaha mengancam revolusi Iran itu.
Garda Revolusi Iran kini menjadi kekuatan militer tandingan angkatan bersenjata Iran dan bahkan persenjataan Garda Revolusi Iran lebih kuat dan modern dibandingkan angkatan bersenjata Iran. Garda Revolusi Iran kini memiliki 125.000 personel yang meliputi angkatan darat, laut, dan udara.
Adapun Pemerintah Yunani membantah telah mendapat permintaan dari Iran untuk berlabuh kapal tanker Adrian Darya 1 di pelabuhannya.
Menteri Urusan Perdagangan Laut Yunani Ioannis Plakiotakis, Selasa kemarin, mengatakan, Adrian Darya 1 sampai saat ini belum meminta secara resmi kepada Pemerintah Yunani untuk berlabuh di pelabuhannya.