Ketika kemampuan fisik terus menurun karena termakan usia, pola hidup harus lebih terkelola. Anak secara alamiah akan sekuat tenaga merawat orangtuanya. Namun, sebagian orangtua lanjut usia berkeinginan kuat menjalani masa tua dengan mandiri.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Ketika kemampuan fisik terus menurun karena termakan usia, pola hidup manusia harus lebih terkelola. Seorang anak secara alamiah akan sekuat tenaga merawat orangtuanya. Namun, sebagian orangtua lanjut usia berkeinginan kuat untuk menjalani masa tua dengan mandiri, seperti ke panti jompo atau wisma lansia. Alasannya? Tak mau merepotkan anak.
Duduk di kursi plastik, bersama rekan komunitasnya yang membentuk lingkaran besar, pandangan Christoforus Soeripno (83) fokus tertuju kepada perawat yang memberi instruksi gerakan tepat di tengah. Tangan kanan diangkatnya hingga hari jari telunjuk dan tengah membentuk V atau victory.
”Sekarang, jempol tangan kirinya diangkat ya, Bapak-Ibu,” seru sang perawat. Christoforus tak kesulitan melakukannya, tetapi beberapa lansia lain tampak bingung. Perawat menghampiri untuk membantu. Suasana senam pagi di Wisma Lansia Harapan Asri, Banyumanik, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/8/2019), itu penuh keceriaan.
Chris, panggilan Christoforus, menjadi penghuni paviliun Wisma Lansia Harapan Asri sejak 2016 bersama istrinya yang meninggal pada Desember 2018. Sebelumnya, mereka tinggal di Amerika Serikat (AS) selama dua tahun. Adapun kedua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal di AS.
Sejak di AS, Chris dan istrinya sudah berencana untuk hidup sendiri. ”Kami nggak mau mengganggu anak-anak. Maka, pada 2016, kami mencari banyak tempat di Indonesia, tetapi pilihan akhirnya jatuh di sini. Suasananya tenang dan persaudaraannya sangat baik. Kami cocok,” ucap Chris.
Chris menjelaskan, salah satu pertimbangan ia kembali ke Indonesia untuk menjalani masa tua adalah suasana kekeluargaan yang nyaman di Indonesia, khususnya di luar Jakarta. Ia menyadari, selain pola makan yang sehat, dirinya juga memerlukan lingkungan yang nyaman dan penuh kekerabatan dalam menjalani masa tua.
Salah satu pertimbangan Chris kembali ke Indonesia untuk menjalani masa tua adalah suasana kekeluargaan yang nyaman di Indonesia, khususnya di luar Jakarta.
Penghuni wisma lainnya, Ignasius Sutrisno (77), dan istrinya, MG Sri Indarti (67), menempati paviliun berupa rumah kecil berukuran 8 meter x 7 meter. Sejak 2016, keduanya memutuskan untuk menjual rumah besar mereka di Kabupaten Wonogiri, Jateng, dan tinggal di panti.
Itu karena keduanya disarankan dokter untuk beristirahat total. Sutrisno mengalami gangguan kesehatan pada tulang belakang (hernia nukleus pulposus) dan telah dioperasi, sedangkan Sri mengalami osteopenia atau gejala menurunnya kepadatan tulang. ”Pada prinsipnya kami tak mau merepotkan anak-anak karena sudah memiliki keluarga dan tanggung jawab masing-masing,” ujar Sri.
Keduanya tertarik dengan konsep yang ada di Wisma Lansia Harapan Asri, yakni seperti membeli atau membangun rumah sendiri. Apabila keduanya sudah tiada, rumah atau paviliun tersebut dihibahkan ke wisma. Akhirnya, Sutrisno dan Sri pun tinggal di wisma mulai Maret 2019.
Kini, Sutrisno dan Sri merasa bisa beristirahat dengan nyaman karena suasana yang tenang dan asri di kompleks wisma. ”Anak-anak kami juga bisa menginap di sini. Kalau penuh, ada guest house yang bisa digunakan. Di sini, kami juga tidak perlu repot memikirkan listrik, kebersihan, dan makan,” ujarnya.
Orientasi hidup sehat
Pemimpin Wisma Harapan Asri Bruder Heri Suparno CSA mengatakan, pihaknya berorientasi untuk pelayanan hidup sehat, yakni sajian makanan sehat. Ada kerja sama dengan ahli gizi guna memastikan makanan yang dihidangkan sehat. Dalam sehari, penghuni mendapatkan 3 kali makan dan 2 kali makanan ringan.
Selain itu, keramahtamahan dikedepankan dalam pelayanan kepada penghuni. ”Kami selalu menerapkan komunikasi terapeutik atau menyembuhkan. Para perawat di sini juga kami beri kursus dulu tiga bulan sebelum terjun. Pematerinya dari Stikes Elisabeth dan Unika Soegijapranata,” ujar Bruder Heri.
Saat ini terdapat 68 penghuni wisma berusia 58-96 tahun yang menempati empat jenis tempat tinggal, yakni bangsal, kamar, serta Paviliun Gonzaga I dan II. Saat ini juga tengah dikembangkan Paviliun Gonzaga III. Adapun Paviliun Gonzaga berupa ruangan seperti apartemen serta rumah kecil yang biaya pembangunannya dari penghuni.
Sekitar dua pertiga dari 68 penghuni Wisma Harapan Asri merupakan perempuan dan sisanya laki-laki. ”Sekitar 50 persen berasal dari Semarang dan sekitarnya, sisanya dari luar kota, seperti Jakarta, Surabaya, dan Palembang. Ada juga yang sebelumnya tinggal di AS dan negara-negara Eropa,” ujarnya.
Bruder Heri menuturkan, mereka tinggal di wisma ada yang dari keinginan kuat sendiri dan ada juga yang karena anaknya sibuk. ”Kalau karena kesibukan anak, biasanya memerlukan waktu penyesuaian tiga bulan karena merasa disingkirkan, tetapi setelah itu mereka bisa terima,” katanya.
Pelayanan keagamaan
Selain karena suasana wisma yang asri, kata Bruder Heri, para penghuni wisma tertarik karena ingin mendekatkan diri dengan Tuhan. Bagi mereka yang beragama Katolik ada misa, sedangkan untuk Kristen ada pendeta yang datang menjemput. Penghuni beragama Islam juga difasilitasi dengan adanya ustaz.
Di Wisma Harapan Asri, yang juga menjadi tempat tinggal novelis Nh Dini sebelum meninggal pada Desember 2018, ada sejumlah kegiatan rutin. ”Ada senam lansia, meliputi senam otak, stroke, diabetes, dan lainnya, serta terapi. Ada juga kegiatan bernyanyi dan wisata lansia ke obyek wisata,” ujar Bruder Heri.
Biaya per bulan tinggal di Wisma Harapan Asri yang berkisar Rp 3 juta-Rp 6,5 juta sudah mencakup berbagai fasilitas, seperti makan, listrik, kebersihan, dan fisioterapi.