Penting, Perlindungan Korban dalam Penyelenggaraan Negara
Pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun dari Presiden Joko Widodo mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Amnesti itu dinilai salah satu bentuk sikap dari pemerintah untuk menegaskan bahwa perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan hal penting dalam penyelenggaraan negara.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Pemberian amnesti atau peniadaan hukuman bagi Baiq Nuril Maknun dari Presiden Joko Widodo mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Amnesti tersebut dinilai sebagai salah satu bentuk sikap dari pemerintah untuk menegaskan bahwa perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan hal penting dalam penyelenggaraan negara.
Kendati demikian, belajar dari kasus yang dialami oleh Baiq Nuril, seharusnya ke depan pemerintah dan DPR perlu segera melakukan perbaikan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, kesalahan-kesalahan dari penerapan UU ITE telah membuat korban yang seharusnya dilindungi justru dikriminalisasi.
”Kami sepakat dengan langkah pemerintah untuk melakukan revisi UU ITE, tetapi kami meminta supaya inisiator UU ITE, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika, juga harus ikut dan mengevaluasi hukum yang mereka pernah buat,” ujar Maidina Rahmawati, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Senin (5/8/2019), di Jakarta.
Maidina menyatakan, ICJR menunggu langkah konkret pemerintah atas komitmennya untuk melakukan revisi terhadap UU ITE, menyusul pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Jumat (2/8/2019), di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor yang memastikan pemerintah akan mengajukan revisi UU ITE.
ICJR menunggu langkah konkret pemerintah atas komitmennya untuk melakukan revisi terhadap UU ITE.
Namun, ICJR mengingatkan agar dalam revisi UU tersebut memperhatikan pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi menimbulkan overkriminalisasi. Selain itu, perlu penyelarasan revisi UU ITE dengan rancangan KUHP yang tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR.
Harapan terhadap pemerintah untuk segera merevisi UU ITE juga disampaikan Joko Sumadi, penasihat hukum Baiq Nuril. Menurut dia, revisi UU ITE harus dilakukan supaya tidak multitafsir yang menjadikan pasal-pasalnya, khususnya Pasal 27, menjadi pasal karet.
”Selain itu, kami berharap sesegera mungkin DPR dan pemerintah melakukan pembahasan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual supaya tindak pidana asal dalam kasus Baiq Nuril dapat diproses dan korban dapat dilindungi haknya,” ujar Joko yang juga Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram.
Menurut dia, amnesti ini seharusnya dimaknai oleh aparat penegak hukum untuk melihat lebih jauh dan lebih komprehensif terhadap suatu kasus hukum. Bahwa hukum bukan ada dalam ruang hampa, melainkan ada dalam masyarakat yang juga mempunyai nilai dan standar tentang sebuah keadilan.
”Hukum juga harus bergerak mengikuti zaman, aparat penegak hukum mau tidak mau juga harus mengikutinya. Ketika mobil tercipta, mau tidak mau kita harus menggunakan mobil dengan ilmu mengendarai mobil, jangan sampai kita menggunakan mobil dengan ilmu mengendarai becak,” ujar Joko.
Hukum juga harus bergerak mengikuti zaman. Aparat penegak hukum mau tidak mau juga harus mengikutinya.
Joko menyatakan, sejak awal kasus yang menimpa pegawai honorer tersebut sudah dianggap sepele oleh aparat penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim kasasi. Masih ada aparat penegak hukum yang berpikiran bahwa hukum dan keadilan hanya untuk orang kaya dan orang miskin tidak boleh mendapatkan keadilan.
Jangan ada korban lagi
Sebelumnya, ICJR dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan, jika UU ITE tidak direvisi, dikhawatirkan akan kembali menelan korban. Proses panjang sampai dengan pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dari Presiden tidak harus terjadi jika perbaikan sistem telah dilakukan.
Dio Ashar, Ketua Harian MaPPI FHUI, berharap DPR dan Mahkamah Agung dalam kewenangannya bisa mengambil langkah-langkah untuk mengevaluasi aparat penegak hukum guna menjamin adanya perspektif perlindungan korban dalam kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan, seperti perempuan korban kekerasan seksual.
Selain revisi UU ITE, ICJR dan MaPPI FHUI juga mengusulkan pembaruan KUHAP mutlak diperlukan. Perlindungan perempuan yang berhadapan dengan hukum masih menjadi masalah dalam sistem peradilan pidana.
”Kasus Baiq Nuril seharusnya tidak perlu sampai ke proses penegakan hukum. Hal ini dapat terjadi karena tujuan pemidanaan kita masih berorientasi penghukuman serta tidak sensitif dan berperspektif pada perlindungan korban, khususnya korban kekerasan seksual,” ujar Maria Tarigan, peneliti MaPPI FHUI.
Kasus Baiq Nuril bukanlah satu-satunya kasus saat korban pelecehan seksual justru menjadi terpidana dan dihukum. Menurut catatan MaPPI-FHUI, masih ada beberapa kasus lain di mana korban yang seharusnya dilindungi oleh negara justru menjadi terpidana dalam kasus lainnya, semata-semata karena perbuatannya memenuhi unsur kesalahan di dalam suatu undang-undang.
Kasus Baiq Nuril bukanlah satu-satunya kasus saat korban pelecehan seksual justru menjadi terpidana dan dihukum.
Misalnya, WA di Muara Bulian dan BL di Jakarta Selatan, korban pemerkosaan yang divonis bersalah pada tingkat pengadilan negeri karena dituduh melakukan pengguguran kandungan, padahal merupakan korban pemerkosaan.
Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril pada 29 Juli 2019. Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh kepala sekolah tempatnya mengajar. Kasus hukum Baiq Nuril berawal tahun 2015 ketika dia dituduh menyebarkan konten pornografi dan didakwa melanggar UU ITE. Namun, Pengadilan Negeri Mataram membebaskannya. Jaksa mengajukan kasasi dan MA memvonisnya bersalah dengan hukuman pidana enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Nuril mengajukan PK, tetapi ditolak MA. Dia kemudian memohon amnesti kepada Presiden dan dikabulkan Presiden. Pemberian amnesti tersebut, menurut anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Sri Nurherwati, merupakan sejarah karena Presiden peduli dengan ketidakadilan berbasis jender.
Karena itu, dia berharap, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus menjadi payung hukum yang akan menyetarakan posisi perempuan dan anak sebagai kelompok rentan korban kekerasan seksual.