Kepolisian diminta segera menemukan aktor intelektual yang menggerakkan unjuk rasa di Papua Barat karena diduga ada oknum yang memanfaatkan situasi ini.
Oleh
IQBAL BASYARI/AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Kepolisian diminta segera menemukan aktor intelektual yang menggerakkan unjuk rasa di Papua Barat karena diduga ada oknum yang memanfaatkan situasi ini. Di sisi lain, Polri juga diminta mengusut tuntas dugaan pelanggaran prosedur dalam penanganan peristiwa, persekusi, serta rasisme terhadap penghuni Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.
Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kogoya yang ditemui di Gedung Negara Grahadi, Selasa (20/8/2019), memastikan, secara adat, dia sudah meminta kepala suku untuk menghentikan aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat. Ajakan ini diklaim berhasil menghentikan aksi unjuk rasa di Papua, namun ternyata aksi masih terjadi di Papua Barat.
“Saya minta kemarin adalah yang terakhir yang terbukti di Papua sudah tidak ada demo. Kalau hari ini masih ada demo di Papua Barat, saya minta agar segera ditangkap aktornya (penggerak aksi),” kata Lenis.
Dia meminta aksi unjuk rasa di Papua tidak dibesar-besarkan. Jika ada yang terus menyulut aksi menjadi lebih besar, pelakunya adalah oknum. Polisi diminta segera mencari oknum yang membesar-besarkan masalah ini.
Baca juga: Jaga Kehormatan Papua
Sementara di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, penghuni asrama memilih menutup diri dari pihak lain. Mereka menolak kehadiran siapa pun yang ingin menemui mereka, termasuk para jurnalis yang meliput.
Penolakan tersebut ditegaskan melalui pemasangan spanduk di pintu gerbang asrama bertuliskan “Siapapun yang datang kami tolak”. Spanduk tersebut dipasang oleh penghuni asrama sekitar pukul 09.30. Pagar besi di depan asrama juga masih ditutup dengan kain putih sehingga kegiatan yang dilakukan penghuni asrama tidak bisa terlihat dari luar.
Saya minta kemarin adalah yang terakhir yang terbukti di Papua sudah tidak ada demo. Kalau hari ini masih ada demo di Papua Barat, saya minta agar segera ditangkap aktornya
Pantauan di lokasi pada Selasa (20/8/2019) hingga pukul 16.00, situasi di sekitar Asrama Mahasiswa Papua tampak lengang. Polisi masih berjaga di ujung Jalan Kalasan, sekitar 100 meter dari asrama. Sesekali tampak penghuni yang datang menggunakan sepeda motor.
Jurnalis yang meliput dari seberang asrama sempat diusir. Tiga penghuni asrama meminta belasan jurnalis, termasuk Kompas, untuk meninggalkan lokasi sekitar asrama.
Mereka juga meminta foto dan video untuk dihapus, namun permintaan itu ditolak. “Kami mengambil gambar di bagian depan yang ranahnya tempat umum, bukan di dalam asrama,” ujar Arip, jurnalis SCTV.
Baca: Aspirasi Papua; Katakan Tidak Pada Rasisme
Penolakan yang dilakukan penghuni asrama tersebut juga membuat rencana kedatangan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dibatalkan. Padahal dia sudah merencanakan datang langsung menemui penghuni asrama untuk meredam situasi yang memanas. “Saya akan datang langsung dan berbicara dengan mahasiswa asal Papua,” ujar Risma, Senin (19/8/2019).
Meski kedatangan ke asrama batal, lanjut Risma, dia melakukan komunikasi dengan orang Papua yang ada di Papua dan Papua Barat. Risma meminta warga Papua yang tinggal di Papua mengajak mahasiswa Papua yang ada di Surabaya untuk menahan diri. Dia ingin seluruh warga yang tinggal di Surabaya bisa hidup dengan nyaman tanpa ada gesekan perbedaan suku, agama, ras, antar golongan.
Dugaan pelanggaran prosedur
Sekretaris Jenderal Federasi Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Andy Irfan, mengatakan, kasus dugaan pelanggaran prosedur dalam penanganan peristiwa dan persekusi serta rasisme harus diusut tuntas.
“Pernyataan maaf diapresiasi tetapi belum cukup sebab pengusutan kasus secara tuntas akan memberikan gambaran terang benderang dan menjaga kehormatan Papua,” ujar Andy yang turut ditemani oleh Koordinator Badan Pekerja Kontras Surabaya Fatkhul Khoir.
Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya, dalam penilaian Kontras, bertanggungjawab dalam penangkapan terhadap 43 orang Papua di Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, Sabtu (17/8). Penangkapan didahului adanya laporan dugaan tindak pidana pelanggaran Undang Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan bertanggal sehari sebelumnya.
Menurut Kontras, seharusnya petugas menindaklanjuti laporan dengan memanggil terlapor dalam hal ini penanggungjawab Asrama Mahasiswa Papua. Pemanggilan meliputi 1,2,3 dan jika tidak terpenuhi bisa ditempuh pemanggilan paksa.
Namun, Polrestabes Surabaya menempuh diskresi. Pengamanan terhadap mahasiswa Papua dilakukan saat terjadi kericuhan antara organisasi massa bercampur aparatur dan penghuni asrama. Polisi menembakkan gas air mata dan mengamankan mahasiswa Papua dengan cara penangkapan dan dibawa ke kantor untuk pemeriksaan.
Mahasiswa telah dipulangkan ke asrama pada keesokan hari atau Minggu dan sampai Selasa ini masih mengalami trauma atas penanganan peristiwa.
“Kami siap menempuh jalur hukum dengan melaporkan Kepala Polrestabes Surabaya dan Kepala Polda Jatim ke Divisi Propam Mabes Polri dan Kompolnas,” kata Andy. Polisi diyakini melanggar prosedur dan sepatutnya meminta maaf dan bertanggungjawab dengan pemberian sanksi kepada perwira pengambil keputusan.
Selain itu, penting untuk mengusut tuntas adanya ujaran kebencian rasisme yang diyakini dilontarkan oleh oknum Angkatan Darat dan organisasi massa (FPI). Ujaran kebencian rasisme, dalam penilaian Kontras, bukan delik aduan melainkan delik murni. Polisi dapat menyelidiki dan mengungkap kasus tanpa adanya laporan.
“Harus dipahami, ujaran rasisme itulah yang sangat menyinggung perasaan orang Papua dan berdampak buruk dengan munculnya protes keras (demontasi dan kerusuhan) di Papua dan Papua Barat,” ujar Fathkul menambahkan.
Harus dipahami, ujaran rasisme itulah yang sangat menyinggung perasaan orang Papua dan berdampak buruk dengan munculnya protes keras (demontasi dan kerusuhan) di Papua dan Papua Barat
Untuk diketahui, dari 43 orang yang dibawa ke Polrestabes, seorang di antaranya terindikasi gangguan jiwa. Warga dengan gangguan jiwa ini beberapa waktu sebelumnya ditemukan oleh komunitas mahasiswa Papua, dibawa dan dirawat di asrama. Ia sedang dalam proses untuk pemulangan ke Papua. Satu lagi adalah remaja berstatus siswa SLTA. “Selebihnya adalah mahasiswa dan saat ini sudah dikembalikan ke asrama,” katanya.
Dalam silaturahmi pada Senin malam, Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Luki Hermawan mengatakan, akan menindaklanjuti kasus ujaran kebencian rasisme itu. “Kami pasti selidiki,” katanya.
Kepala Staf Kodam V/Brawijaya Brigadir Jenderal Bambang Ismawan mengatakan, akan turut mengecek keberadaan personel TNI Angkatan Darat yang datang ke asrama dan diduga menyatakan ujaran kebencian rasisme. Tidak ada perintah dari Kodam V/Brawijaya untuk jajaran terkait dengan peristiwa di asrama Papua. “Kami akan cek,” ujarnya.
Baca juga: Masyarakat Sipil Tolak Diskriminasi Rasial terhadap Papua