Tegakkan Hukum Kasus Papua
Unjuk rasa di sejumlah lokasi di Papua dan Papua Barat pada pekan ini menunjukkan ada masalah multidimensi di daerah itu. Prioritas penanganan perlu dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS —Proses hukum yang tuntas dan transparan diperlukan terhadap kasus dugaan ujaran kebencian bernada rasisme di Surabaya dan Malang, berikut sejumlah peristiwa lain yang terjadi sebelum dan setelahnya. Pada saat yang sama, pendekatan yang komprehensif juga perlu diintensifkan untuk menyelesaikan masalah Papua.
Sementara itu, suasana di Jayapura, Papua, dan Manokwari, Papua Barat, sepanjang hari Selasa (20/8/2019) kembali normal. Pertokoan buka dan warga beraktivitas seperti biasa.
Sebelumnya, pada Senin lalu, unjuk rasa mengecam ujaran kebencian bernada rasisme yang dialami mahasiswa Papua, terjadi di dua kota itu. Unjuk rasa tersebut kemarin masih terjadi di Sorong, Papua Barat, dan berakhir rusuh. Selain memblokir sejumlah jalan, massa sempat melempari Wali Kota Sorong Lamberth Jitmau.
Aksi unjuk rasa ini membuat sepanjang Senin malam hingga Selasa siang kemarin tidak ada angkutan umum yang beroperasi di Kota Sorong. Pertokoan dan stasiun pengisian bahan bakar minyak tutup. Kegiatan belajar-mengajar di sekolah dan kantor pemerintah diliburkan.
Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kagoya mengatakan, secara adat dia sudah meminta kepala suku untuk menghentikan unjuk rasa di Papua dan Papua Barat. ”Saya minta (Senin) kemarin adalah (unjuk rasa) yang terakhir yang terbukti (hari ini) di Papua sudah tidak ada demo. Kalau hari ini masih ada demo di Papua Barat, saya minta agar segera ditangkap aktornya (penggerak aksi),” kata Lenis di Surabaya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menegaskan, prioritas Polri adalah mengembalikan situasi normal di Papua Barat.
”Kami mengedepankan pengamanan persuasif yang melibatkan semua pihak dan elemen masyarakat. Personel kepolisian tidak dibekali peluru tajam selama bertugas,” kata Dedi.
Dalam mengusut kasus ini, lanjut Dedi, polisi telah menemukan lima akun penyebar berita bohong yang memicu unjuk rasa di Jayapura, Manokwari, dan Sorong. Polisi tengah berupaya menemukan keterkaitan di antara akun-akun itu.
Dalam silaturahmi pada senin malam, Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal Luki Hermawan mengatakan, polisi akan menindaklanjuti kasus ujaran kebencian bernada rasisme yang terjadi di Jawa Timur. ”Kami pasti selidiki,” katanya.
Sementara itu, Kepala Staf Kodam V/Brawijaya Brigadir Jenderal Bambang Ismawan akan mengecek keberadaan personel TNI Angkatan Darat yang diduga datang ke asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasen, Surabaya, dan ditengarai ikut menyatakan ujaran kebencian bernada rasisme. Dia menegaskan, tidak ada perintah dari Kodam V/Brawijaya untuk jajarannya terkait dengan peristiwa di asrama Papua. ”Kami akan cek,” ucapnya.
Latar belakang
Pada 16 Agustus lalu, sekelompok orang dari ormas tertentu mendatangi asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Pasalnya, ada kabar telah terjadi perusakan bendera Merah Putih di kawasan asrama itu. Saat itulah diduga terjadi ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di asrama tersebut.
Sementara itu, pada 15 Agustus, sekitar 30 orang yang mengatasnamakan Aliansi Muda Papua (AMP) berencana berunjuk rasa di kawasan Balai Kota Malang untuk menyuarakan aspirasi terkait dengan perjanjian antara Amerika Serikat dan Indonesia. Dalam perjalanan, AMP terlibat keributan dengan warga sekitar yang ingin mencegah unjuk rasa itu.
Terkait dengan peristiwa 15 Agustus itu, Wakil Wali Kota Malang Sofyan Edi Jarwoko membantah telah mengeluarkan pernyataan akan memulangkan oknum mahasiswa asal Papua yang terlibat keributan sebagaimana dimuat oleh beberapa media, 15 Agustus lalu.
”Soal statement saya yang jadi pemberitaan, soal Wakil Wali Kota akan memulangkan (mahasiswa), itu pun saya tegaskan saya tidak pernah mengeluarkan statement itu,” tuturnya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menegaskan, pihaknya tidak menoleransi diskriminasi terhadap suku tertentu di kampus. Jikalau di kampus terjadi diskriminasi, rektor harus bertanggung jawab.
”Saya akan minta kepada semua rektor di Indonesia, khususnya perguruan tinggi negeri, untuk bertanggung jawab kepada mahasiswa Papua yang ada di kampusnya. Jika sampai terjadi diskriminasi di perguruan tingginya tersebut, rektornya akan saya panggil dan rektornya harus bertanggung jawab. Jangan sampai persoalan itu diperuncing,” ujar Nasir.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua Lipiyus Biniluk mengatakan, FKUB Papua mengapresiasi respons positif Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Provinsi Papua dalam mengatasi unjuk rasa di Papua.
FKUB Papua pun berharap aparat keamanan, baik di Papua maupun di luar Papua, selalu bertindak profesional dan tidak represif dalam menghadapi aksi mahasiswa asal Papua.
Prioritas
Pemerintah perlu menempatkan persoalan yang terjadi di Papua sebagai salah satu prioritas penanganan. Unjuk rasa yang terjadi di Papua dan Papua Barat pada pekan ini bukan peristiwa yang tiba-tiba, melainkan persoalan multidimensi yang telah lama terjadi.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte berpendapat, persoalan Papua tidak hanya masalah ekonomi. Isu Papua juga memiliki aspek persoalan sosial, sejarah, budaya, dan juga jejak-jejak dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kunci penyelesaian persoalan Papua, lanjut Philips, ialah dengan menjadikan masyarakat Papua merasa memiliki, dan dilibatkan dalam program- program kesejahteraan sosial dan ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, warga Papua merasa ikut memiliki, menyelenggarakan, dan menikmatinya.
Di saat yang sama, komitmen kuat pemerintah juga harus ditunjukkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan dugaan pelanggaran HAM di Papua. ”Jika persoalan dibiarkan, akan makin dalam persepsi tentang adanya ketidakadilan di masyarakat Papua,” kata Philips.
(REK/SYA/SAN/INK/WER/FRN/COK/BRO/FRN/FLO/NTA)