China sadar, tekanan frontal atas unjuk rasa warga di Hong Kong akan memicu tekanan balik terhadap Beijing. Meskipun demikian, Beijing tidak diam. Beijing diduga menggulirkan aneka propaganda.
HONG KONG, KOMPAS —Upaya warga Hong Kong untuk mempertahankan kebebasan dan demokrasi yang dimiliki terus bergulir. Hingga Rabu (21/8/2019) petang, ratusan pengunjuk rasa menggelar aksi duduk di Stasiun Yuen Long. Mereka memperingati serangan 21 Juli yang dilakukan sekelompok orang terhadap pengunjuk rasa.
Unjuk rasa di Yuen Long mereka sebut sebagai keprihatinan atas macetnya investigasi polisi terkait serangan yang diduga dilakukan oleh jaringan kejahatan terorganisasi itu.
Terkait rangkaian unjuk rasa—telah berjalan selama 11 pekan berturut-turut—untuk menolak RUU Ekstradisi yang baru di Hong Kong, otoritas China masih berupaya menahan diri. Hingga saat ini, Beijing belum mengerahkan tentara ke Hong Kong. Namun, sikap itu tidak berarti China sama sekali tinggal diam.
Banyak pihak menilai, tekanan Beijing kepada pengunjuk rasa di Hong Kong masih berbentuk propaganda. Bentuk propaganda itu antara lain Beijing menyiagakan tentara dan polisi berikut perlengkapan mereka di Shenzhen, provinsi China yang bertetangga dekat dengan Hong Kong. Hal itu membuat sejumlah pihak, termasuk para pengunjuk rasa, tidak yakin Beijing akan mengirim pasukan ke Hong Kong.
Pengumuman Facebook dan Twitter pada Selasa menjadi salah satu bukti Beijing memakai cara selain pengerahan tentara. ”Secara keseluruhan, akun-akun ini sengaja dan secara khusus berusaha menyebar perselisihan politik di Hong Kong, termasuk merusak posisi dan hasil gerakan protes,” demikian pernyataan Twitter soal identifikasi ratusan ribu akun yang diduga sebagai media propaganda China.
Twitter menyatakan punya bukti tepercaya bahwa akun-akun itu dikoordinasi Pemerintah China. Hal itu, antara lain, berdasarkan identifikasi yang menunjukkan unggahan terkoordinasi dan dalam jumlah besar terkait unjuk rasa Hong Kong.
Selain di media sosial, sejumlah media massa China juga secara terbuka menyiarkan pandangan negatif terhadap unjuk rasa Hong Kong. Global Times, media yang dikelola China, dan kantor berita Xinhua secara terbuka menyebut, pengunjuk rasa telah melakukan terorisme. Media-media itu mendorong pengerahan pasukan China di Hong Kong.
Ancaman
Sejumlah media juga menyiarkan ancaman selain pengerahan pasukan. Media mengingatkan ketergantungan Hong Kong pada China. Pangan segar, air, hingga energi dipasok China dalam jumlah besar ke Hong Kong. Pemerintah Hong Kong mengakui hal itu dalam sejumlah laporan pertanggungjawaban tahunan.
Pada 2017/2018, Hong Kong mengimpor 664 juta meter kubik air atau setara 67 persen kebutuhan kota itu dari China. Sisanya dipenuhi dari waduk-waduk di sekitar Hong Kong. Ketergantungan Hong Kong pada Beijing juga terjadi dalam hal makanan. Setidaknya 90 persen kebutuhan sayuran segar dan daging babi segar Hong Kong dibeli dari China. Sementara 100 persen daging sapi segar dan 66 persen telur didatangkan dari China.
Di sektor energi, 100 persen gas alam dan 99 persen elpiji Hong Kong dipasok China. Adapun 25 persen kebutuhan listrik Hong Kong dipasok dari PLTN di Guangdong. Sementara salah satu PLTA di Guangzhou memasok hingga 1.200 megawatt listrik ke Hong Kong.
Dengan kebutuhan-kebutuhan vital itu, tidak heran jika media-media China mengingatkan bahwa Hong Kong dalam bahaya jika Beijing memutuskan pengurangan pasokan ke sana. (AP/AFP/REUTERS/JOS)