Lahan gambut merupakan ekosistem yang memiliki fungsi penyimpan dan berpotensi melepas emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Gas karbon yang tersimpan di dalam gambut hingga ratusan tahun.
Laporan Panel Ahli Internasional Perubahan Iklim (IPCC) yang terbit awal Agustus lalu, “IPCC Special Report on Climate Change, Desertification, Land Degradation, Sustainable Land Management, Food Security, and Greenhouse gas fluxes in Terrestrial Ecosystems”, merupakan laporan tentang kaitan antara perubahan iklim dengan semua persoalan terkait ekosistem daratan.
Laporan tersebut amat penting bagi Indonesia, karena emisi gas rumah kaca terbesar adalah dari sektor lahan dan hutan yaitu 63 persen (sesuai dengan Niatan Kontribusi Nasional yang didaftarkan ke Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC). Sementara untuk mencapai komitmen menurunkan emisi GRK antara 29-41 persen dari kondisi tanpa perbaikan kebijakan (business as usual/BAU), dari sektor hutan dan lahan sebesar 17,2 persen, energi (11 persen), limbah (0,38 persen), proses industri/IPPU (0,10 persen), dan pertanian (0,32 persen).
Hutan adalah penyerap sekaligus dapat menjadi sumber emisi GRK. Laporan itu menyebutkan, hutan menyimpan karbon di tanah dan di tetumbuhan. Untuk meningkatkan mitigasi bisa dilakukan penghutanan kembali, pemulihan lahan hutan, pertanian dalam hutan (agroforestry), manajemen karbon yang terkandung dalam tanah mineral (misal tidak dilakukan pengerukan tanah untuk pertambangan), atau produk hasil panen kayu (dari hutan tanaman industri). Namun lama penyimpanan gas karbon pada semua aktivitas itu sifatnya terbatas secara waktu.
Bagi Indonesia ada kabar baik yaitu disebutkan bahwa lahan gambut ternyata mampu menyimpan karbon “selama ratusan tahun”. Di sisi lain, saat tumbuhan di lahan gambut menjadi tua, dan jenuh penyerapan GRK dari atmosfer bisa menurun menjadi nol namun karbon yang telah tersimpan akan tetap aman. Ketebalan gambut di Indonesia berkisar antara 0,5 m sampai lebih dari 10 m, sehingga cadangan atau simpanan karbon dapat berkisar antara 300 ton sampai lebih dari 6.000 ton per hektar.
Penebangan dan penggundulan hutan, serta kebakaran hutan akan menyebabkan terlepasnya karbon yang tersimpan dalam lahan gambut menjadi emisi GRK yang lepas ke atmosfer. Selain akibat kegiatan manusia, karbon juga terlepas ke atmosfer jika terjadi bencana banjir, kekeringan, kebakaran hutan, ledakan hama, atau tata kelola yang buruk.
Kebijakan di Indonesia
Luas lahan gambut dunia mencapai 420 juta hektar (Balitbang Pertanian, 2014), dan lahan gambut tropis mencapai 30 juta-45 juta hektar (Balitbang Pertanian, 2014). Di Indonesia lahan gambut tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua dengan luas sekitar 14,9 juta hektar. Menurut Kementerian Pertanian, sekitar 30 persen lahan gambut tersebut berpotensi untuk pengembangan pertanian. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di ASEAN (Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara).
Untuk melindungi potensi lahan gambut baik sebagai pelepas emisi maupun penyimpan karbon, sejumlah peraturan telah dikeluarkan pemerintah. Peraturan terbaru terkait lahan dan hutan yaitu Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
“Itu merupakan tindakan mitigasi untuk mengurangi kemungkinan bencana dan emisi gas karbon,” ujar Azwar Maas, pakar rawa dan gambut dari UGM. Dia menjelaskan, emisi GRK dari lahan gambut sekitar 2,2 juta ton setara gas karbondioksida (CO2). Emisi di gambut lebih besar, lanjutnya, karena banyak pepohonan di atas sebagai bahan bakar utama. Yang berada di bawah permukaan tanah, adalah cadangan yang karena dipanaskan saat terjadi kebakaran hutan, dia turut terbakar.
“Kebakaran akan berhenti kalau ketemu gambut basah, dan itu tergantung pada muka air tanah. Oleh karena itu tidak boleh turun lebih dari 0,4 meter dari permukaan,” ujar Azwar. Kalau dialiri air, maka air akan mudah masuk karena sifat gambut yang porous (berpori-pori sehingga mudah menyerap air). Berat lahan gambut hanya 0,05 gram-0,2 gram per cm3, sementara berat tanah mineral 1 gram-1,2 gram per cm3.
Dia menegaskan, seharusnya kesatuan hidrologis gambut di puncak kabah yang merupakan cadangan air jangan dimanfaatkan. Jika puncak kubah gambut rusak bisa terjadi evapotransportasi dengan kecepatan 4 mm-5 mm ketinggian air per hari. “Dua bulan bisa mencapai 30 cm penurunannya karena air tidak mau naik lagi sehingga gambut sudah kering, sementara tanaman semak belukar juga kering. Di situlah mulainya mudah terbakar,” kata Azwar.
Maka pesan utamanya adalah penegakan hukum bagi para pelanggar kebijakan harus dilakukan, dan para pelaku sebaliknya juga harus taat hukum. Jika pelanggaran terus terjadi maka target mitigasi Indonesia dengan menurunkan emisi GRK bisa gagal dan bencana lebih besar pun menanti.