Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menyiapkan instruksi khusus untuk mengantisipasi ancaman kekeringan akibat kemarau panjang di Ibu Kota. Warga Jakarta juga diimbau agar menghemat penggunaan air.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO / AGUIDO ADRI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menyiapkan instruksi khusus untuk mengantisipasi ancaman kekeringan akibat kemarau panjang di Ibu Kota. Warga Jakarta juga diimbau agar menghemat penggunaan air.
”Ada langkah-langkah yang harus dilakukan Pemprov untuk mengantisipasi kemarau panjang di wilayah Jakarta, nanti akan muncul dalam bentuk instruksi gubernur (ingub). Kalau ingub sudah selesai, kami akan umumkan,” ujar Anies di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Anies mengatakan, rancangan instruksi itu sudah diselesaikan pada 6 Agustus 2019. Instruksi itu melibatkan sejumlah satuan kerja perangkat daerah dalam penanganan kekeringan yang mengancam Ibu Kota.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini kekeringan yang akan terjadi di wilayah Banten dan Jakarta. Kondisi ini merupakan imbas musim kemarau yang melanda kedua provinsi ini sejak bulan lalu.
Di Jakarta, sejumlah wilayah dinyatakan berstatus merah alias awas karena mengalami hari tanpa hujan 61-90 hari. Wilayah itu, di antaranya Menteng, Gambir, Kemayoran, Tanah Abang, Tebet, Setiabudi, Pasar Minggu, Halim, Pulogadung, Cipayung, Cilincing, Tanjung Priok, Koja, Kelapa Gading, dan Penjaringan.
Anies juga mengimbau kepada seluruh warga Jakarta untuk ikut mengantisipasi ancaman kekeringan itu. Setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, menghemat penggunaan air. Kedua, menggunakan saluran-saluran air sebaik mungkin agar air bisa dipakai kembali. ”Sekarang, kita harus lebih bijak dalam penggunaan air,” katanya.
Penyusutan debit air
Secara terpisah, Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf menambahkan, setidaknya ada dua wilayah administrasi DKI yang rawan kekeringan, yakni Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Saat ini pihaknya masih terus berkoordinasi dengan wali kota setempat dan PAM Jaya untuk mendata wilayah mana saja yang akan diberi pasokan air bersih secara gratis. Selain itu, lanjut Juaini, ancaman paling nyata dari kemarau ini adalah penyusutan debit air waduk. Itu terjadi di Waduk Pluit dan Waduk Marunda di Jakarta Utara.
”Rata-rata memang di kawasan (Jakarta) Utara. Padahal, waduk itu untuk penampungan air, tetapi yang terjadi airnya menyusut, debit air berkurang,” tutur Juaini.
Juaini mengakui, antisipasi dampak kemarau kali ini belum optimal karena masih bergantung pada PAM Jaya dalam penyuplaian air bersih. Karena itu, tahun depan, pihaknya sedang menyusun rencana pengolahan air baku di sejumlah waduk Ibu Kota. Dengan begitu, warga sekitar masih bisa menikmati air bersih di masa kemarau.
”Jadi, airnya mau diolah nanti, dari air buangan warga, ditampung di waduk-waduk, nanti dari waduk itu diolah buat air baku, buat air minum warga,” ujar Juaini.
Juaini menyatakan telah menyiapkan anggaran untuk membeli mesin pengolahan air waduk tersebut. Namun, dia enggan membeberkan total mesin yang dibeli dan harganya. ”Angkanya saya tidak hafal. Yang jelas ada beberapa waduk yang akan dibuat seperti itu, seperti Waduk Sunter, Waduk Grogol, Waduk Melati. Waduk Pluit juga dimungkinkan,” ucapnya.
Keluhan warga
Dampak musim kemarau membuat warga di Muara Baru Ujung Gedung Pompa, Penjaringan, Jakarta Utara, kesulitan memenuhi kebutuhan air bersih. Sejak tiga bulan terakhir, warga membeli air dari perusahaan air dan penjual air keliling.
Minah (35) baru saja mengisi penuh tiga tong air yang masing-masing berkapasitas 300 liter. Ia dan beberapa warga mendapat air tersebut dari perusahaan air yang setiap hari mengisi penuh penampungan air bersama.
”Untuk mengisi penuh tiga tong ini saya harus membayar Rp 40.000 untuk tiga hari ke depan, harus hemat. Namun, air ini hanya untuk mandi dan cuci-cuci saja. Enggak bisa dipakai untuk minum dan masak,” kata Minah.
Untuk memenuhi kebutuhan minum dan masak, Minah harus membeli air dari penjual air keliling. ”Air bersih saya beli lagi. Saya beli dua jeriken (sekitar 40 liter) seharga Rp 10.000 untuk per dua hari,” lanjut Minah yang sudah tiga bulan ini pengeluarannya membengkak untuk membeli air.
Warga lainnya, Raman (48), mengatakan, setiap musim kemarau warga selalu kesulitan air bersih dan akhirnya terpaksa membeli air meski harus mengeluarkan uang lebih. Sumber air seperti sumur tidak bisa dipakai karena keruh dan asin.
”Kami berharap ada bantuan dari pemerintah. Hampir setiap tahun saat musim kemarau seperti ini, kami selalu kesulitan air bersih. Kami ingin ada saluran air dari PDAM,” ujar Raman. Di tengah kesulitan air saat musim kemarau, Minah, Raman, dan warga lainnya bersyukur masih bisa mendapatkan air bersih dari para penjual air keliling.
Yandri (63), salah satu penjual air keliling, mengatakan, setiap hari dirinya bolak-balik tiga hingga empat kali dengan membawa 20 jeriken yang masing-masing berkapasitas 20 liter. Itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air bersih warga di Muara Baru Ujung Gedung Pompa.
Tidak mudah bagi Yandri membawa 20 jeriken dalam gerobaknya menuju rumah warga. Ia beberapa kali berhenti mengatur napas, tak jarang ia harus sekuat tenaga mendorong gerobak yang terganjal batu atau kondisi jalan yang berlubang. Kakinya yang tidak beralas bahkan sering tersandung batu. ”Sepikul (dua jeriken) saya jual Rp 5.000. Itu pun kadang warga masih utang,” kata Yandri.
Perjuangan Yandri tidak hanya mendorong gerobak saja. Ketika ada warga yang membeli airnya, ia harus memikul dua jeriken dan memasukkan air tersebut ke dalam tong penampungan air milik warga.
”Biasanya saya sisakan satu jeriken untuk kebutuhan saya. Sebenarnya letih, tetapi warga dan saya butuh air bersih. Uang hasil penjualan air ini untuk kebutuhan sehari-hari,” tutur Yandri sembari menyekat keringat yang mengucur di keningnya.