Hunian Ideal bagi Warga Lansia
Rumah adalah salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia, selain pakaian dan makanan. Rumah merupakan bangunan untuk tempat tinggal, sebuah bangunan yang dibuat untuk tempat tinggal (makna fisik).
Bagi lansia, rumah bukan sekadar bangunan tempat tinggal dan berteduh, tetapi lebih daripada itu juga berfungsi sosial dan kekerabatan. Di dalam rumah, lansia mengharapkan memperoleh kehangatan kebersamaan keluarga di usia senjanya.
Rumah adalah salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia, selain pakaian dan makanan. Rumah merupakan bangunan untuk tempat tinggal, sebuah bangunan yang dibuat untuk tempat tinggal (makna fisik).
Namun, ada aspek lain yang juga muncul dari makna tempat tinggal, yaitu tempat di mana seseorang tinggal, terutama dengan keluarga (home). Di sini ada nuansa yang lebih luas dari sekadar bangunan fisik, yaitu sisi psikologis dan emosional saat berinteraksi dengan keluarga, kerabat, dan lingkungan sekitar. Warga lanjut usia, seiring menua usianya, semakin membutuhkan aspek sosio-psikologis yang diharapkan hadir dari lingkungannya.
Fungsi ini tergambar dalam aspek saling memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian di antara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas keluarga. Dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang komunal, besar keinginan untuk selalu berkumpul dengan keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar.
Nyaris seluruh responden (99,6 persen) mengungkapkan pendapatnya bahwa lansia sebaiknya tinggal bersama keluarganya.
Demikian pun saat orang tua sudah mulai lanjut usia, dan anak-anak sudah berkeluarga, tetap besar keinginan berkumpul dengan keluarga besar atau asalnya. Hal itu tergambar pada perayaan mudik saat Lebaran atau liburan hari raya lainnya. Ada kebutuhan yang besar bagi setiap keluarga untuk sebisa mungkin berkumpul meski setahun sekali dengan orangtuanya.
Pada 2018, setidaknya terdapat 67,1 juta keluarga di Indonesia. Menariknya, di antara empat rumah tangga di Indonesia, satu di antaranya merupakan rumah tangga lansia. Ini artinya ada lansia di rumah itu, baik sendirian maupun bersama anggota keluarga lainnya.
Statistik Penduduk Lanjut Usia 2018 juga mencatat, mayoritas lansia (90 persen) tinggal bersama keluarganya, baik itu pasangannya, keluarga, maupun anak cucunya. Paling banyak lansia tinggal bersama anak cucunya (43 persen).
Adalah menarik menelisik bagaimana respons keluarga inti menyikapi kehadiran seorang lansia di dalam kehidupan sehari-harinya. Hasil jajak pendapat Kompas pada Juli 2019 mengungkap betapa masyarakat kita sangat menerima lansia yang notabene adalah orangtuanya, di dalam rumahnya.
Nyaris tak terekam penolakan terhadap kehadiran lansia dalam keluarga meski diakui sebagian responden tentang kerepotan yang terjadi dengan kehadiran orang tua lansia.
Memang tak terbayangkan beban pemerintah seandainya para lansia ini tak ditampung keluarganya sendiri. Jumlah lansia di Indonesia pada 2018 mencapai 24,5 juta orang atau sekitar 9,27 persen dari total populasi penduduk. Populasi ini meningkat dari 7,1 juta orang selama 10 tahun terakhir jika dihitung dari jumlah lansia pada 2008.
Dalam lima tahun terakhir, rumah tangga lansia terus bertambah hampir 3 persen seiring struktur kependudukan serta membaiknya berbagai sarana penunjang kesehatan.
Dukungan
Keberadaan rumah tangga lansia bukan hanya dilihat dari aspek peningkatan semata. Dari sini dapat juga dicermati pola menetap kaum lanjut usia.
Melihat hakikat keberadaan rumah dan fungsi keluarga, dukungan paling besar kepada anggota keluarga termasuk lansia adalah dari pihak keluarga itu sendiri. Lansia yang tinggal bersama keluarganya umumnya akan diperhatikan kehidupannya oleh anak atau menantu atau cucunya.
Memberikan perhatian kepada kaum lansia dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajiban keluarga, terutama keturunannya. Anak menjadi tumpuan hidup manakala orangtua semakin renta dan tidak sanggup hidup sendiri, baik itu karena faktor ekonomi ataupun penurunan kesehatan.
Data ini mengonfirmasi temuan menarik bahwa hunian yang nyaman bagi lansia adalah rumah, baik itu rumah sendiri maupun rumah keluarganya. Keberadaan lansia di tempat lain (di luar rumah sendiri dan keluarganya) tercatat paling minim, sebanyak 0,58 persen.
Fenomena yang sama juga muncul dari hasil jajak pendapat Kompas pada 3-5 Juli 2019 yang menangkap keengganan masyarakat untuk menempatkan orang tua ke panti khusus lansia atau panti jompo. Nyaris seluruh responden (99,6 persen) mengungkapkan pendapatnya bahwa lansia sebaiknya tinggal bersama keluarganya. Bagi responden, merumahkan mereka di panti dianggap sama dengan mengisolasi dan menjauhkan mereka dari keluarga.
Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan setuju mengirimkan orangtua mereka ke panti khusus lansia. Kebanyakan, alasannya adalah agar warga lanjut usia ini bisa berinteraksi dan bersosialisasi dengan lansia yang lain. Selain itu, kesibukan anggota keluarga yang tak memungkinkan untuk mengawasi dan merawat orangtua juga menjadi latar belakang.
Pandangan masyarakat tersebut tidak jauh berbeda dengan jajak pendapat empat tahun lalu, pada Oktober 2015. Saat itu, mayoritas responden (97,1 persen) juga memilih keluarga sebagai tempat tinggal bagi lansia yang ada di keluarga mereka. Panti lansia di mata responden belum menjadi pilihan utama sebagai tempat tinggal bagi lansia.
Kesadaran
Salah satu faktor pendukung keberadaan lansia yang tinggal bersama keluarganya adalah meningkatnya kesadaran keluarga dalam memperhatikan kesejahteraan lansia. Data Statistik Penduduk Lanjut Usia 2018 yang dirilis BPS juga menunjukkan ketergantungan lansia terhadap anggota keluarga yang lain.
Hal ini tampak dari sisi pembiayaan terbesar rumah tangga lansia pada 2018. Pembiayaan rumah tanggal lansia lebih banyak didukung oleh anggota rumah tangga yang bekerja (78,39 persen).
Selain itu, hanya 13 dari 100 rumah tangga lansia yang memiliki jaminan sosial (13,36 persen). Ini menggambarkan, kebanyakan lansia tidak memiliki jaminan sosial di masa tuanya.
Keterbatasan ini tidak jarang menyebabkan para lansia bergantung dan membutuhkan pertolongan orang lain. Lansia membutuhkan rasa aman dan nyaman sebagai bentuk dukungan riil dari orang-orang terdekat, terutama keluarga.
Tidak mudah menggantikan hunian keluarga bagi lansia, termasuk dengan menyediakan panti lansia. Pada 2014 terdapat 256 Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia yang melayani 12.500 orang lansia.
Dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 2012, pelayanan dalam panti lansia dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan lansia.
Jenis pelayanan yang diberikan dalam panti, meliputi pemberian tempat tinggal yang layak, jaminan hidup berupa makan, pakaian, pemeliharaan kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan mental, sosial, keterampilan, agama, hingga pengurusan pemakaman.
Mayoritas lansia (90 persen) tinggal bersama keluarganya, baik itu pasangannya, keluarga, maupun anak cucunya.
Namun, berbagai jaminan dan fasilitas hidup layak di panti lansia belum membuat lansia dan keluarganya tertarik untuk hidup di panti lansia. Nilai berharga sebuah rumah dan fungsi kekerabatannya belum dapat digantikan oleh suasana panti yang nyaman secara fisik.
Meski demikian, bukan tidak mungkin gagasan tinggal di panti khusus lansia dapat meningkat seiring membaiknya manajemen panti. Mengelola panti lansia dengan semangat kekeluargaan dan menjaga kehangatan interaksi penghuninya layaknya di rumah sendiri menjadi potensi ketertarikan lansia pada masa datang untuk melanjutkan masa tuanya di panti lansia. (LITBANG KOMPAS)