Keterpaduan Pengolahan Kelapa Menentukan Nilai Tambah
Industri pengolahan kelapa terpadu menentukan peningkatan harga di tingkat petani. Keterpaduan ini juga faktor penting untuk menaikkan nilai ekonomi kelapa.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Industri pengolahan kelapa terpadu menentukan peningkatan harga di tingkat petani. Keterpaduan ini juga faktor penting untuk menaikkan nilai ekonomi kelapa.
Pada dasarnya, petani menjual kelapa butir utuh kepada industri. Kelapa utuh itu terdiri dari sabut, tempurung atau batok, daging buah, dan air yang keempatnya dapat dimanfaatkan dan diolah di tingkat industri. Akan tetapi, lokasi industri pengolah cenderung terpencar dan masing-masing pelaku mengolah satu komponen dari kelapa tersebut. Sementara komponen bahan yang tidak digunakan berakhir menjadi limbah.
"Bahkan, ada sejumlah provinsi sentra perkebunan kelapa yang belum memiliki industri terpadu. Misalnya, Sumatera Selatan, Jambi, dan Sulawesi Utara," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) Muhaemin Tallo saat ditemui di sela acara bertajuk Diseminasi Pengembangan Industri Kelapa Menuju Nomor 1 Dunia di Jakarta, Kamis (22/8/2019).
Akibat ketidakpaduan industri pengolahan tersebut, petani kelapa mendapatkan harga yang tak optimal. Muhaemin mengatakan, harga kelapa saat ini berkisar Rp 800 - Rp 1.200 per butir untuk industri yang mengolah satu komponen bahan saja. Padahal, jika seluruh komponen kelapa diserap oleh industri terpadu, harganya dapat mencapai Rp 2.000 - Rp 3.000 per butir.
Padahal, industri pengolah komponen kelapa tersebut tengah berkembang di Indonesia dan menghasilkan beragam produk yang bernilai tambah. Industri pengolah air kelapa menghasilkan nata de coco, air kelapa kemasan, coco etanol, dan cuka kelapa.
Sebagai contoh, Presiden Komisaris PT Pandu Karya Indonesia Sunarsih mengatakan, korporasinya hanya menggunakan daging buah ketika membeli satu butir kelapa, bagian lainnya tidak dipakai. Perusahaan ini merupakan pengolah daging buah kelapa menjadi kopra putih.
Wakil Ketua Umum Himpunan Masyarakat Kelapa Online Terpadu Indonesia (Himkoti) Iwan R berpendapat, ketidakpaduan industri pengolahan ini menjadi salah satu permasalahan yang berdampak pada nilai ekonomi kelapa. "Sentra industri pengolah terpencar-pencar. Bayangkan, sentra pengolahan sabut di Lampung, air kelapa di Bogor (Jawa Barat), dan daging buah di Riau," katanya.
Daging buah kelapa dapat diolah menjadi kopra jika dikeringkan dan santan jika diperas. Keduanya dapat diolah lebih lanjut menjadi minyak goreng. Selain itu, dengan teknik tertentu, daging buah kelapa dapat diolah menjadi virgin coconut oil (VCO).
Tempurung atau batok kelapa dapat diolah menjadi arang. Jika diproses lebih lanjut, arang ini dapat menjadi bahan baku briket dan karbon aktif. Berdasarkan data dari Perkumpulan Pengusaha Arang Kelapa Indonesia (Perpaki), nilai tambah arah menjadi briket sebesar dua kali lipat.
Sabut atau tapes kelapa dapat menjadi bahan baku yang tergolong serat organik. Serat organik tersebut dapat diolah menjadi papan, doormat, dan tali tambang. Sabut juga dapat diolah menjadi coco peats yang dimanfaatkan sebagai media tanam pengganti tanah.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Pengusaha Minyak Kelapa Indonesia M Tohier memperkirakan, jika kelapa dibeli oleh industri terpadu, harga minimal di tingkat petani Rp 2.000 per butir. Harga itu terbentuk dari sabut kelapa Rp 50, air kelapa Rp 100, tempurung kelapa Rp 500, dan sisanya untuk daging kelapa.
Sebelumnya, Ketua Umum Himkoti Mufti Mubarok mengatakan, rencana memadukan pengolahan tersebut masuk dalam rancangan rengembangan kelapa berbasis revolusi industri 4.0 yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Pengembangan ini membutuhkan dana sekitar Rp 500 miliar.
Dalam 1-2 pekan ke depan, Himkoti berencana untuk memilih daerah percontohan untuk mengembangkan pengolahan kelapa secara terpadu dan berbasis revolusi industri 4.0. Wilayah Pulau Sumatera menjadi salah satu sasarannya.
Secara teknis, Mufti mengatakan, pengembangan terintegrasi tersebut akan berwujud perusahaan holding yang mencakup industri pengolah masing-masing komponen bahan dari satu butir kelapa. Perusahaan holding itu mulanya akan beroperasi di daerah percontohan.
Menurut data yang dihimpun Himkoti, luas kebun kelapa Indonesia mencapai 3,81 juta hektar dan terbesar di dunia. Adapun luas terbesar di Indonesia berada di Pulau Sumatera, yakni mencapai 1,12 juta hektar. Berdasarkan data yang dihimpun Perpekindo, satu hektar lahan terdiri dari 125-150 batang pohon kelapa. Satu pohon kelapa dapat menghasilkan sekitar 80 butir per tahun. Satu butir kelapa berkisar 1 kilogram. (JUD)