Matinya Seorang Tukang Mainan
Kompas/Supriyanto Cartoons
Tubuhnya ditemukan tergeletak di lantai pada sebuah Sabtu sore, oleh seorang tetangga yang sedang mampir untuk mengantarkan air galon jatah mingguannya. Tangan dan kakinya terkubur dan tertekuk tak menentu, membuatnya terlihat seperti boneka yang telah aus baterainya. Si tetangga, setelah terlebih dahulu menaruh galon samping lemari televisi, langsung lari keluar mencari bantuan. Warga setempat lalu berkerumun di rumah dan teras, dan setengah jam kemudian, berdasarkan pengumuman Pak RT yang baru terpilih dua minggu lalu, dia dinyatakan tewas.
Tidak ada yang tahu sejak kapan tubuhnya tergeletak di sana. Dia tinggal sendiri, bersama perkakas dan mainan-mainan buatannya. Sejak dulu memang tidak pernah ada siapa-siapa di rumahnya. Tapi kadang, satu atau dua anak datang ke sana. Baik untuk melihat-lihat atau dengan mata bengkak dan muka ingusan, merengek memintanya memperbaiki mainan mereka yang rusak. Tapi itu dulu, sebelum mainan plastik impor dengan warna-warna terang masuk ke pasar dan dijual murah oleh tukang kaki lima di depan sekolahan. Semenjak ada mainan-mainan itu, makin sedikit anak-anak yang kenal dengan Pak Tua dan mainannya.
Waktu kami kecil, berpuluh-puluh tahun yang lalu, mainan Pak Tua adalah simbol kemewahan di desa kami yang perbatasannya hanya hutan dan kebun. Semua karyanya terbuat dari kayu yang dipelitur bening, sehingga raut-raut pohon asalnya masih nampak jelas. Tidak ada satu pun mainannya yang sama persis, semua diberi nomor dan ciri khas masing-masing. Kami sering mampir ke toko Pak Tua meski jelas tidak punya uang untuk membeli, sekadar mengagumi apa-apa yang ada di etalase atau melihatnya mengerjakan karya berikutnya. Jari-jari Pak Tua coklat dan kurus, tapi tangannya terlihat kencang dan berotot akibat sering dipakai menggergaji, memaku, dan mengukir kayu-kayu cemara yang untung bukan ditebangnya sendiri juga. Toko Pak Tua adalah museum masa kecil kami, di mana anak-anak kampung pertama kali bersentuhan dan melihat apa itu seni.
Seperti banyak penduduk di kampung, keluargaku miskin, meski waktu itu tidak pernah terasa begitu. Anak-anak di kampung bermain tanpa pernah memikirkan hal-hal absurd seperti rumah siapa yang lebih besar atau keluarga siapa yang uangnya tidak habis tujuh turunan. Rumah yang besar tidak otomatis menjadi tempat bermain yang asyik, karena orangtua si anak belum tentu bisa tahan mendengar kami lari-lari dan berteriak. Apalagi, kalau di dalam rumah lantainya baru dipel atau ada guci-guci atau pajangan mewah yang bisa pecah karena tertendang.
Kami lebih sering bermain di rumahku, yang kecil dan tidak berubin, tapi dekat sungai yang di tepinya tumbuh pohon seri dan jambu air yang buahnya hijau tapi manis-manis. Setiap siang yang terik, kami cuma perlu membuka baju dan loncat ke riak sungai yang selalu siap menyambut. Begitu lapar, kami akan memanjat pohon dan memetik buah. Aku biasanya kebagian tugas ke dapur mengambil garam, juga menemani siapa pun yang kebetulan sedang menimba air dari sumur di belakang rumah, yang airnya sedikit berbau tanah tapi manis di lidah. Kami tidak pernah bermain dengan karya Pak Tua pada hari-hari panas pun hujan ini. Permainan kami kasar, melibatkan tubuh dan tanah dan air. Bahkan saat itu pun kami tahu bahwa mainan Pak Tua spesial, berbeda dengan senapan bambu yang bisa kami buat sendiri untuk bermain sebelum dilupakan begitu saja ketika pertarungan selesai, adzan maghrib memanggil, disusul oleh teriakan-teriakan ibu kami yang berkumandang.
Umurku tujuh tahun waktu aku pertama kali mendapatkan mainan Pak Tua. Hari itu aku mampir sendiri ke tokonya sepulang sekolah, masih mengenakan seragam putih merah yang baru dan ukurannya kebesaran agar masih bisa dipakai bertahun-tahun selanjutnya. Masih ada sedikit waktu sebelum aku harus ke lapak ibuku, membantunya berdagang ikan asin ketengan. Meskipun terletak dalam komplek pasar yang sama, toko Pak Tua berbeda jauh dengan lapak ibuku yang becek dan bau.
Toko Pak Tua berubin putih bersih yang dipel setiap hari, dengan etalase kaca yang menampilkan mainan-mainan indahnya. Lapak ibuku ada di pelataran belakang pasar, bersebelahan dengan tukang daging dan sayur. Bau anyir akan menyerap ke sekujur tubuh disertai rasa gatal yang tidak hilang-hilang kalau tidak keramas dan sabunan dua kali, yang membuatku tidak bisa mampir ke mana-mana setelah dari lapak ibuku. Di kelasku saat itu, hanya aku yang orangtuanya berjualan di pasar. Sisanya adalah anak-anak pekerja kantoran yang pakaiannya necis dan punya jadwal tetap untuk bekerja maupun perihal uang. Anak-anak pasar lainnya kebanyakan tidak bersekolah, mereka belajar menghitung sambil berjualan dan belajar membaca dari buku kas.
Pak Tua sedang duduk beristirahat saat aku datang. Di hadapannya ada bangku plastik hijau toska yang dijadikan meja, menahan semangkuk bakmi dan es teh manis. Matahari sedang terik-teriknya dan gelas itu berkeringat.
Aku menelan ludah.
“Kalau mau lihat-lihat, silakan saja,” kata Pak Tua sebelum mulai menyeruput kuah bakminya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mulai makan dan aku pun memalingkan muka.
Itu pertama kalinya aku sendirian di toko Pak Tua, yang entah apa namanya. Terdengar ribut dari jalanan dan pedagang-pedagang lain di pasar, tapi ada rasa sunyi yang membungkus siang itu. Ragu-ragu aku menyentuh salah satu karya Pak Tua di atas etalase. Nampaknya baru jadi, karena sebelumnya tidak pernah ada di situ. Sebuah robot kayu, dengan kepala dan badan yang serba siku tapi bermata bulat seperti kancing. Ada engsel di ruas tangannya, dan juga rahang yang bisa dinaik-turunkan. Kalau saja segala sudutnya tidak kotak, mungkin mainan robot itu akan jadi boneka manusia kayu biasa saja.
“Aku baru coba-coba bikin robot,” kata Pak Tua, masih asyik dengan bakminya, “Ternyata susah juga.”
Aku tidak berkomentar apa-apa, karena robot itu sudah cukup bagus di kepalaku. Tidak ada bioskop di kampung kami. Teman-teman sekolahku biasa menonton film di kota sebelah, yang jaraknya satu jam dengan naik mobil. Aku sendiri belum pernah ke bioskop, apalagi menonton film robot. Aku cuma tahu robot dari gambar-gambar yang ada di buku, atau lembaran kertas mewarnai yang dijual di depan sekolah. Saat itu aku masih belum paham bahwa robot tidak butuh rahang yang bisa bergerak untuk berbicara, apalagi membayangkan bahwa robot tidak harus punya sepasang kaki dan tangan seperti manusia.
“Kau anak si tukang ikan asin, bukan?” tanyanya. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan, seketika mukaku terasa panas dan aku ingat ibuku dan lapaknya, berjualan sendiri dengan hasil yang hanya cukup untuk membeli majalah atau buku loak sekali-kali. Kutaruh robot kayu itu di tempatnya semula, dan bersiap pergi meninggalkan toko Pak Tua. Setelah aku menyalimi tangannya, dia berkata, “Sore nanti kau boleh ambil robot kayu itu. Tapi bilang ibumu aku minta sepotong ikan gabus kering.”
***
Entah bagaimana, Pak RT berhasil menemukan nomor telepon anak-anak Pak Tua. Dulu kami memandang Pak Tua sebagai si tukang mainan, tidak pernah terpikir oleh kami bahwa dia mungkin punya keluarga. Sampai aku meninggalkan kampung untuk kuliah di pulau lain pun, aku tidak pernah melihat Pak Tua ditemui orang lain. Dia memang bukan orang asli kampung kami, dan setiap lebaran, toko mainan itu tutup selama sepekan. Kami tidak pernah terlalu merasa kehilangan di saat-saat itu karena sibuk dengan keluarga dan rencana liburan kami masing-masing. Barulah setelah Pak Tua tewas aku berpikir bahwa dia mungkin punya keluarga. Naif, memang, tapi apa boleh buat.
Sejak kembali ke kampung setelah lulus kuliah, aku tidak pernah lagi memikirkan Pak Tua. Kami memang tinggal tidak berjauhan sejak keluargaku pindah dari pinggir sungai yang sekarang sudah diuruk dan dibangun taman serta jembatan beton dan besi yang tidak akan lapuk dimakan rayap. Tapi aku tidak pernah menemuinya. Mainan robot dari Pak Tua pun hanya jadi pajangan di lemari kaca ruang tamu rumah, dibersihkan dengan rajin oleh ibuku supaya tidak berdebu.
Malamnya aku menyempatkan mampir untuk melihat Pak Tua terakhir kali. Meja-meja dan bangku plastik sudah berjejer di halaman rumah, dipenuhi piring-piring berisi kacang, jeruk, dan gelas air yang tertata rapi untuk pelayat berbaju putih. Aku datang seorang diri, tapi di sana banyak teman-teman masa kecilku yang rupanya ingin juga membalas budi pada Pak Tua. Setelah bertahun-tahun tidak pernah banyak bicara selain bertukar sapa di jalan dan pasar, malam ini kami berkumpul di bawah lampu sorot darurat. Dari meja kami terlihat peti kayu tempat tubuh Pak Tua terbujur kaku, dengan kemeja putih dan celana hitam. Jari-jarinya terbungkus sarung tangan putih, yang tidak pernah dipakainya semasa hidup karena licin. Tapi dia memang sudah mati, kulitnya sudah abu-abu dan napasnya yang dulu bau rokok sudah tidak tercium lagi.
Ketika kami selesai berbasa-basi, mulailah pembicaraan soal masa kecil: hari-hari di mana kami berlari tanpa baju dan sepatu, menerobos hujan bermodalkan pelepah pisang, tidak lupa soal kisah-kisah kemiskinan dan simbol kemewahan yang setelah dilihat lagi malah makin menekankan jiwa proletar kami. Malam itu nostalgia berserakan bersama kulit kacang di bawah meja.
Menjelang larut terdengar suara lonceng dan kami pun terdiam. Anak-anak Pak Tua berbaris mengelilingi peti, berdoa dalam bahasa yang tidak kami mengerti, tapi diselimuti kesedihan yang menganga di udara. Tidak lama peti itu ditutup, dan palu terakhir yang menghantam peti itu pun menutup malam kami.
“Ini bagian dari menjadi dewasa yang paling menyakitkan,” kata temanku, matanya menunjuk ke arah anak-anak Pak Tua. Beberapa menyeka wajah dengan tisu, entah karena air mata atau mungkin karena hawa lembab panas yang biasa ada sebelum hujan.
“Tiga tahun lalu saat ibuku berpulang, aku sadar bahwa dari semua hal yang dia ajarkan, dia tidak pernah menyiapkanku untuk mengubur orangtuaku sendiri,” sahutnya lagi.
Tidak ada yang menanggapinya. Ucapannya disambut diam dan angin yang sedikit meredakan panas. Rupanya dia pun tidak berharap jawaban apa-apa. Tidak lama dia mengangguk pamit pulang.
Aku bahkan tidak tahu bahwa ibunya sudah tidak ada.
Yang tersisa dari kami membubarkan diri, berjalan cepat sebelum rintik gerimis pertama turun. Pak Tua dikremasi lusanya. Tidak banyak warga sekitar yang ikut karena memang itu hanya acara keluarga. Kabarnya, abu Pak Tua tidak disimpan di mana-mana, tapi sudah dilarung ke laut lepas. Tidak ada lagi tangan-tangan berurat yang sibuk mengukir masa kecil kami. Kini dia titik-titik debu di tengah lautan luas, terlarut dan terluruh.
Kami kembali pada hidup masing-masing, dan ada kabar bahwa rumah Pak Tua sudah terjual pada pendatang baru. Tidak lama kami sudah melupakannya, barulah Pak Tua jadi bagian dari mainan dan masa kecil kami yang sudah tidak pernah ditengok lagi, kecuali untuk dikeluarkan sekali-kali dari dalam lemari, pada hari-hari spesial untuk diceritakan pada keponakan-keponakan kami, atau sekadar untuk membersihkannya dari debu-debu peninggalan waktu.
Devina Heriyanto, bekerja di harian The Jakarta Post dan pernah menulis cerpen dalam bahasa Inggris untuk The Post.