Pesatnya perkembangan media sosial membuka kesempatan bagi anak-anak muda yang haus berbagi ilmu untuk mengembangkan aplikasi ataupun laman dan kanal yang bertujuan menambah wawasan masyarakat. Melalui medium ini, mereka membumikan sains, ilmu sosial, hingga ilmu agama ke bahasa yang dipahami demografi usia 18 hingga 30 tahun.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Ada banyak cara memanfaatkan media sosial untuk hal-hal positif. Sejumlah anak muda mengembangkan aplikasi, laman, dan kanal untuk menambah wawasan masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Pesatnya perkembangan media sosial membuka kesempatan bagi anak-anak muda yang haus berbagi ilmu untuk mengembangkan aplikasi ataupun laman dan kanal yang bertujuan menambah wawasan masyarakat. Melalui medium ini, mereka membumikan sains, ilmu sosial, hingga ilmu agama ke bahasa yang dipahami demografi usia 18 hingga 30 tahun.
Aplikasi dan laman Kesan.id (Kedaulatan Santri), misalnya, baru diluncurkan pada Mei 2019, tetapi sudah diunduh 20.000 kali. Aplikasi ini ditujukan kepada santri dalam arti yang luas berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu orang yang belajar agama Islam dan bisa juga orang yang menjalankan ibadah.
”Kesan memunculkan dialog mengenai luasnya spektrum tafsir agama dengan cara membahas berbagai persepsi terhadap suatu isu yang menggunakan rujukan-rujukan ilmiah serta literatur keagamaan,” kata salah satu pendiri sekaligus Direktur Kesan Hamdan Hamedan kepada Kompas di Jakarta, Rabu (21/8/2019).
Ia menjelaskan, tujuan aplikasi ini untuk menopang tradisi keislaman dan kesantrian Indonesia. Caranya yakni dengan mengintegrasikan kearifan ulama, kitab klasik, dan ilmu modern. Aplikasi itu memiliki fitur pengenalan ayat suci Al Quran, pustaka hadis terperinci, koleksi kitab kuning, tata cara beribadah, dan pengingat jadwal ibadah. Selain itu, juga ada forum tanya jawab dari para pengguna yang membahas topik keseharian, salah satunya termasuk hukum merayakan hari kemerdekaan dalam Islam.
Tujuan aplikasi Kesan.id untuk menopang tradisi keislaman dan kesantrian Indonesia.
Pertanyaan dijawab oleh ulama dengan referensi literatur keagamaan yang jelas. Terdapat juga rujukan-rujukan ilmiah lain yang ditulis para ilmuwan dari berbagai bidang. Pembahasan sebuah isu menjadi lebih kaya meskipun masuk dari topik ritual ataupun hukum Islam.
”Tujuannya adalah memberi pembaca pemahaman bahwa agama tidak sekadar berkata hitam dan putih ataupun halal dan haram. Dalam Islam ada banyak persepsi seperti keberadaan mahzab pemikiran. Semua dibahas dalam Kesan selama tetap dalam koridor Islam Al Sunnah Wal Jamaah,” tutur Hamdan.
Ulama yang menjadi pengasuh kolom dipilih mereka yang memiliki pengetahuan agama dengan konteks juga memahami perkembangan zaman dan konsep kebangsaan. Meskipun demikian, menurut Hamdan, Kesan juga menerima artikel yang ditulis oleh pihak luar asal sesuai dengan kaidah ilmiah.
Menjawab keingintahuan masyarakat
Sementara itu, bagi Gerald Bastian, pendiri kanal Youtube Kok Bisa? tujuan pendirian kanal ini adalah melayani pertanyaan ”remeh-temeh” dari siswa SMP hingga mahasiswa.
”Kami pakai istilah \'remeh-temeh\' karena pertanyaan-pertanyaan ini banyak tidak dianggap penting oleh masyarakat, tetapi membuat penasaran,” tuturnya.
Salah satu pertanyaan yang mereka garap adalah mengenai asal-usul ayam dan telur. Kerap di masyarakat menanyakan apakah ayam yang ada terlebih dulu atau telur. Melalui video dengan animasi kocak, Kok Bisa? menerangkan proses evolusi dari dinosaurus menjadi ayam.
Berbagai video lain membahas mengenai inflasi dan krisis ekonomi. Gerald mengungkapkan, datanya disadur dari media arus utama. Siswa dan mahasiswa umumnya menganggap penulisan di media arus utama serius dengan terminologi yang tidak mereka pahami. Kok Bisa? Menjadi jembatan dengan mengemas ulang konten menggunakan bahasa lebih membumi.
Siswa dan mahasiswa umumnya menganggap penulisan di media arus utama serius dengan terminologi yang tidak mereka pahami.
”Kami membuka ruang untuk berbagai pertanyaan karena berdasar evaluasi pertanyaan yang masuk, banyak siswa mengaku tidak berani bertanya kepada guru dan orangtua,” ujar Gerald.
Sementara itu, Sofyana Ali Bin Diar, pendiri Everidea, memilih untuk membuat agensi konten. Ia bertindak sebagai kurator yang mengumpulkan para pembuat konten positif di media sosial agar bisa digodok lebih lanjut dan menghasilkan video-video yang tidak hanya inspiratif, tetapi juga informatif.