Situasi Kondusif, Blokir Internet Dicabut Malam Ini
Pemerintah memohon maaf atas langkah yang membuat aktivitas komunikasi di Papua dan Papua Barat terganggu sejak Senin (19/8/2019). Langkah itu dinilai penting demi memulihkan keamanan di Papua dan Papua Barat.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jika situasi di Papua dan Papua Barat hari ini telah kembali kondusif, Kementerian Komunikasi dan Informatika bakal mencabut pemblokiran internet di kedua provinsi tersebut pada Kamis (22/8/2019) malam ini.
”Situasi saat ini sudah mulai kondusif. Kami harap sore atau malam ini benar-benar sudah aman sehingga akan kami cabut pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Ferdinandus Setu saat dihubungi Kompas, Kamis.
Sejak situasi di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat tegang, bahkan kerusuhan pecah di Manokwari, Papua Barat, menyusul insiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, akhir pekan lalu, Kemkominfo memutuskan untuk melambatkan akses internet atau disebut throttling.
Keputusan ini diambil untuk mencegah maraknya peredaran kabar bohong yang membuat situasi dan kondisi di kedua provinsi tersebut semakin panas. Dua hoaks yang teridentifikasi saat itu misalnya hoaks foto mahasiswa Papua tewas dipukul aparat di Surabaya dan hoaks yang menyebutkan Polres Surabaya menculik dua pengantar makanan untuk mahasiswa Papua.
Oleh karena itu, sejak Rabu (21/8/2019), Kemkominfo mengambil kebijakan untuk memblokir akses ke internet karena kondisi bertambah parah. Di Fakfak, Papua Barat, misalnya, kerusuhan pecah.
”Pada Rabu pagi terjadi eskalasi perbincangan mengenai ujaran kebencian dan hoaks yang berisi rasisme dan provokatif sehingga kami ambil tindakan pemblokiran sementara. Tetapi, layanan telepon dan SMS tetap bisa dilakukan, begitu juga fixed line tetap bisa dilakukan meski lambat,” tutur Ferdinandus.
Minta maaf
Dia memohon maaf atas langkah pemerintah yang membuat aktivitas komunikasi terutama di Papua dan Papua Barat terganggu. Namun, hal ini dilakukan untuk memulihkan keamanan di Papua dan Papua Barat.
”Kami sudah berusaha men-take down konten negatif dan memblokir akun-akun yang tidak bertanggung jawab. Kami mohon agar masyarakat yang masih memiliki konten negatif di smartphone-nya untuk tidak menyebarluaskan lagi,” lanjut Ferdinandus.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengkritik tindakan Kemkominfo di Papua dan Papua Barat. Tindakan pemerintah dinilainya melawan hukum.
Menurut dia, pembatasan akses layanan komunikasi adalah bentuk pembatasan hak asasi manusia (HAM), yang harus dilakukan dengan berdasarkan batas-batas kondisi yang telah ditetapkan UUD 1945 dan sesuai dengan Komentar Umum No 29 terhadap Pasal 4 ICCPR. Setidaknya ada dua syarat di dalamnya.
Pertama, situasi sebagai latar belakang pemblokiran harus berupa keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa. Selain itu, Presiden harus menetapkan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat melalui keputusan presiden sebagai dasar pembatasan layanan telekomunikasi tersebut.
”Jika pemerintah ingin melakukan upaya pemutusan layanan secara total, terlebih dahulu pemerintah harus deklarasi politik negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UUD 1945,” katanya.
”Bentuk pembatasan HAM tanpa penjelasan dan dasar merupakan bentuk pelanggaran hukum yang serius, yang seharusnya segera dihentikan,” lanjutnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani juga menyayangkan keputusan pemerintah tersebut. Seharusnya, akses informasi justru dibuka seluas-luasnya sehingga publik dapat turut mengawasi langkah-langkah yang ditempuh pemerintah ataupun aparat keamanan dalam mengendalikan situasi di Papua dan Papua Barat.
Pelambatan akses internet sebelumnya diambil pemerintah saat terjadinya kericuhan di sejumlah daerah di DKI Jakarta pada 21-22 Mei 2019.
”Negara kerap berdalih dengan alasan keamanan dalam melakukan throttling, sementara kita tidak pernah mendapatkan akuntabilitas dari proses tersebut, mulai dari parameter keadaan yang menjustifikasi dilakukannya throttling sampai laporan atas hasil kebijakan tersebut sebagai bentuk transparansi,” ujar Yati.