Dialog yang konstruktif dengan masyarakat Papua perlu diintensifkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan di daerah itu.
Oleh
Anita Yossihara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Pemulihan keamanan dan ketertiban kini menjadi prioritas di Papua dan Papua Barat setelah unjuk rasa di sejumlah daerah di dua provinsi itu sejak Senin lalu. Komunikasi konstruktif untuk membangun sikap saling percaya dan memahami, dengan masyarakat Papua, juga perlu diintensifkan pemerintah.
Komunikasi yang konstruktif ini mendesak diintensifkan karena ada kecenderungan unjuk rasa mengecam ujaran kebencian bernada rasisme yang diduga dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur mulai melebar ke persoalan lain. Hal ini, antara lain, terlihat dalam unjuk rasa di Fakfak, Papua Barat, dan Timika, Papua, Rabu (21/8/2019).
Di Fakfak, unjuk rasa diiringi dengan pembakaran Pasar Tambaruni dan kantor Lembaga Masyarakat Adat Fakfak.
Pembakaran kantor Lembaga Masyarakat Adat Fakfak bermula dari adanya warga yang mengibarkan bendera bintang kejora di kantor itu sehingga membuat masyarakat marah. Kantor itu lalu dibakar setelah masyarakat tidak menemukan pengibar bendera tersebut, yang ternyata telah kabur.
Sementara itu, unjuk rasa di Timika awalnya berlangsung damai. Namun, saat peserta berunjuk rasa di kantor DPRD Mimika, ada orang yang tiba-tiba melempar ke aparat keamanan. Beberapa rumah dan kios juga dirusak massa.
Kepala Polres Mimika Ajun Komisaris Besar Agung Marlianto mengatakan, dalam unjuk rasa itu juga ada orasi tentang referendum Papua.
Proses hukum
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal M Iqbal menjelaskan, Polri tidak menghalangi keinginan masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi di hadapan publik. Namun, hak anggota masyarakat lainnya yang ingin beraktivitas seperti biasa juga mesti dihormati.
”Kita kedepankan pemulihan sejumlah kota yang mengalami peristiwa kerusuhan. Setelah itu, dugaan-dugaan (pidana) di balik peristiwa tersebut akan ditindaklanjuti,” ujar Iqbal.
Polri, lanjut Iqbal, menjamin keselamatan seluruh masyarakat dan mahasiswa Papua di seluruh Tanah Air. Di saat yang sama, masyarakat diharapkan tidak mudah terpengaruh oleh teks, foto, atau video di media sosial berkaitan dengan isu Papua yang bernuansa provokasi.
Kepala Polda Jawa Timur Inspektur Jenderal Luki Hermawan mengatakan, 48 orang telah diperiksa sebagai saksi terkait dugaan ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua yang berada di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, 16 Agustus lalu. Belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Sandi Nugroho menambahkan, dari 48 saksi yang diperiksa, 42 orang adalah penghuni Asrama Mahasiswa Papua dan 6 warga sekitar. Ia memastikan semua pemeriksaan sesuai prosedur.
Adapun Panglima Kodam V/Brawijaya Mayor Jenderal R Wisnoe Prasetja tengah mendalami dugaan keterlibatan personel TNI dalam peristiwa ujaran kebencian bernada rasisme di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Jika terbukti ada anggota yang terlibat, TNI akan memberikan sanksi sesuai aturan. ”Akan kami berikan sanksi kalau itu memang tidak sesuai dengan prosedur,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto akan meninjau keamanan di Papua bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian. Wiranto menyatakan akan mengobarkan rasa empati dan kedamaian di Papua.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, persoalan mendasar Papua ialah ketidakadilan politik, ekonomi, sosial, dan sejarah integrasi Papua yang masih dipersoalkan sebagian masyarakat Papua.
Terkait hal itu, pemerintah perlu mengintensifkan pendekatan berbasis kemanusiaan dan politik bagi warga Papua. Hal itu dapat dimulai dengan membangun komunikasi yang konstruktif untuk membangun sikap saling percaya dan memahami antara pemerintah dan semua elemen di Papua.
”Jalan dialog dapat mengurangi potensi konflik sekaligus meletakkan masyarakat Papua sebagai subyek utama dalam mewujudkan keadilan pembangunan berkelanjutan di Papua,” kata Ismail.