Rentetan Gempa Melanda Kaki Gunung Salak
Sejak Sabtu (10/8/2019) hingga Kamis (22/8) telah terjadi 76 kali gempa bumi di kaki Gunung Salak, Jawa Barat. Hingga kini, belum diketahui apakah gempa ini karena aktivitas vulkanik atau tektonik.
JAKARTA, KOMPAS — Rentetan gempa bumi terjadi di kaki Gunung Salak, di sekitar wilayah Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sejak Sabtu (10/8/2019) hingga Kamis (22/8) telah terjadi 76 kali gempa bumi.
Gempa bumi bumi ini terjadi dalam berbagai variasi magnitudo dan kedalaman, namun semua masih di bawah M 4.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperlihatkan dari puluhan gempa yang terjadi, lima di antaranya guncangannya cukup kuat sehingga dirasakan oleh warga, yaitu gempa M 3 pada 19 Agustus 2019 pukul 08.13 WIB, M 2,5 pada 19 Agustus 2019 pukul 22.52 WIB, M 3,9 pada 21 Agustus 2019 pukul 03.06 WIB, M 3,4 pada 21 Agustus 2019 pukul 11.24 WIB, dan M 3,3 pada 21 Agustus 2019 pukul 20.49 WIB.
“Berdasarkan sebaran pusat gempa yang berlangsung saat ini, terlihat aktivitasnya sangat lokal terkosentrasi di sebelah barat daya kaki Gunung Salak,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono. “Di wilayah ini banyak warga beberapa kali merasakan guncangan gempa," ujarnya.
Sedangkan berdasarkan analisis mekanisme sumber, tambah Daryono, gempa yang terjadi kemungkinan dibangkitkan oleh penyesaran dengan mekanisme yang merupakan kombinasi pergerakan mendatar dan naik (oblique thrust fault) dengan kecenderungan berarah utara-selatan.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Sri Hidayati mengatakan, hingga kini belum diketahui apakah gempa ini karena aktivitas vulkanik atau tektonik. “Tapi dari karakteristiknya tergolong gempa tektonik. Kami menyebutnya gempa tektonik lokal,” kata dia.
Hingga kini, belum diketahui apakah gempa ini karena aktivitas vulkanik atau tektonik.
Menurut Sri, tim PVMBG saat ini tengah bersiap ke lapangan untuk mengetahui lebih detil rentetan gempa bumi ini.
Gempa
Daryono mengatakan, rentetan gempa yang sedang berlangsung di Bogor saat tergolong sebagai gempa swarm, yaitu serangkaian aktivitas gempa yang terjadi di kawasan sangat lokal.
Mengacu pada klasifikasi ahli gempa bumi Jepang, Kiyoo Mogi (1963), karakteristik gempa dibagi dalam 3 tipe. Pertama, gempa tipe 1 yang dicirikan dengan terjadinya gempa utama (mainshock) yang diikuti oleh gempa susulan (aftershocks).
Kedua, gempa tipe 2 dicirikan dengan munculnya gempa pendahuluan (foreshocks), kemudian terjadi gempa utama dan diikuti oleh aktivitas gempa susulan.
Baca Juga : Mewaspadai Gempa di Selatan Jawa
Sedangkan ketiga, gempa tipe 3 dicirikan dengan munculnya aktivitas gempa yang berlangsung secara terus menerus dengan magnitudo yang relatif kecil tanpa ada gempa utama. Gempa tipe tiga inikah yang disebut swarm.
“Aktivitas gempa di wilayah Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor saat ini layak disebut swarm karena gempa yang terjadi sangat banyak tetapi tidak ada gempa yang magnitudonya kuat sebagai gempa utama (mainshocks),” kata Daryono.
Menurut Daryono, gempa swarm ini diduga berkaitan dengan mekanisme penyesaran lokal, apalagi didukung dengan data bentuk gelombang yang menunjukkan fasa gelombang S (shear) yang tampak kuat dan jelas.
“Namun demikian hingga saat ini belum diperoleh referensi mengenai keberadaan struktur sesar aktif yang diduga menjadi pembangkit gempa swarm ini,” kata dia.
Hasil kajian yang dilakukan Pepen Supendi dan tim tahun 2018 sudah menyebutkan adanya klaster aktivitas gempa di barat daya Gunung Salak ini. Di klaster ini terjadi 9 kali gempa selama periode 2011-2015 yang memiliki magnitudo M 2,0 hingga M 4,6.
Dalam peta seismisitas Jawa Barat dan Banten periode 1990 - 2000 juga tampak adanya klaster aktivitas gempa yang cukup mencolok di barat daya Gunung Salak. “Ini artinya aktivitas gempa Klaster Bogor ini sebenarnya sudah sering terjadi sejak lama,” tambah Daryono.
Gempa Klaster Bogor ini sebenarnya sudah sering terjadi sejak lama.
Berdasarkan data hasil monitoring BMKG terkini, tampak ada kecenderungan frekuensi kejadian gempa swarm semakin meningkat. Aktivitas gempa ini merupakan cerminan berlangsungnya proses pelepasan tegangan pada batuan kulit Bumi yang berlangsung karena karakteristik batuan yang rapuh (brittle).
Baca Juga : Wajah Kebinekaan di Kaki Gunung Salak
“Jika medan tegangan yang tersimpan dalam sudah habis, maka aktivitas gempa swarm ini dengan sendirinya akan berakhir,” kata dia.
Di Indonesia sudah beberapa kali dilanda gempa swarm, misalnya baru-baru ini di Mamasa, Sulawesi Barat yang mencapai ratusan kali. Pada beberapa kasus gempa swarm biasa juga terjadi di zona gunung api, seperti terjadi di Jailolo, Maluku Utara beberapa tahun lalu.
“Gempa swarm di Jailolo akibat adanya tekanan magma ke batuan. Jadi, swarms dapat terjadi di bagian yang mengalami akumulasi medan tegangan berkaitan dengan aktivitas pergerakan magma,” kata Daryono.
Gempa swarm di Jailolo akibat tekanan magma ke batuan.
Selain berkaitan dengan aktivitas vulkanisme, beberapa laporan menunjukkan bahwa gempa swarms juga dapat terjadi di kawasan non vulkanik. Fenomena swarms memang dapat terjadi pada kawasan dengan karakteristik batuan rapuh dan mudah mengalami retakan-retakan (fractures).
“Untuk menjawab apakah fenomena swarm pada klaster Bogor ini dibangkitkan oleh aktivitas sesar (tektonik) atau vulkanisme, tampaknya perlu ada kajian yang lebih mendalam untuk menjawabnya,” tambah Daryono.