Tanpa Libatkan Kearifan Lokal, Pembangunan Bisa Merusak
Pembangunan nasional tanpa melibatkan kearifan lokal dapat berpotensi mengancam kelestarian alam dan budaya. Sebaliknya, pembangunan berbasis keanekaragaman hayati dan warisan budaya memiliki potensi keuntungan nasional yang nyaris tidak terhingga.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan nasional tanpa melibatkan kearifan lokal dapat berpotensi mengancam kelestarian alam dan budaya. Sebaliknya, pembangunan berbasis keanekaragaman hayati dan warisan budaya memiliki potensi keuntungan nasional yang nyaris tidak terhingga.
Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menggelar rapat pleno tengah tahun di Jakarta, Kamis (22/8/2019). Dalam kegiatan tersebut juga diadakan seminar bertema ”Koeksistensi antara Pembangunan Nasional dan Konservasi serta Implementasi Pariwisata Berkelanjutan di Kawasan Tetapan UNESCO”.
Dalam paparannya, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hilmar Farid mengatakan, sudah saatnya kearifan lokal masyarakat menjadi basis pembangunan yang berkelanjutan. Hal itu bertujuan agar pembangunan tidak terhalangi sekaligus tidak mengganggu kelestarian alam dan budaya setempat.
”Selama ini belum ada jalan keluar dari pembangunan yang merusak lingkungan hidup dan berpengaruh negatif terhadap kebudayaan lokal,” katanya.
Menurut Hilmar, perlu ada upaya untuk membangun mekanisme pelibatan seniman dan pelaku budaya dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, pengembangannya juga harus berbasis pada komunitas, kearifan lokal, ekosistem budaya, pelestarian alam, dan pemanfaatan teknologi.
Perlu ada upaya untuk membangun mekanisme pelibatan seniman dan pelaku budaya dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu tantangan konkret yang sedang dihadapi, misalnya, terkait status hutan hujan tropis Sumatera yang saat ini masuk daftar ”dalam bahaya” sebagai situs warisan dunia UNESCO. Namun, di kawasan tersebut ada rencana pembangunan tenaga panas bumi. Seperti diketahui kawasan tersebut dipetakan memiliki sumber panas bumi yang besar.
Ada dua kepentingan nasional yang diperjuangkan, yakni semangat untuk mempertahankan status warisan dunia atau pembangunan sumber energi baru. Jalan keluar terbaik adalah meriset dan masuk ke lokasi secara langsung dengan melibatkan komunitas sekitar dalam mengambil kesimpulan bersama.
”Selama ini diskusi hanya berkutat pada siapa yang punya otoritas dan mana yang lebih dibutuhkan, hasilnya tidak akan produktif,” kata Hilmar.
Contoh lainnya adalah pelestarian warisan budaya subak yang ada di Bali yang beririsan dengan modernisasi pengelolaan air. Diharapkan kearifan lokal di Bali justru bisa membantu percepatan pembangunan tersebut.
Tidak terhingga
Menurut Hilmar, pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu fokus yang terdapat dalam tujuh strategi kebudayaan nasional. Fokus yang dimaksud adalah memajukan kebudayaan dengan melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem. Pembangunan yang berkelanjutan diyakini bisa memberikan keuntungan nasional yang nyaris tidak terhingga.
”Misalnya, pengetahuan lokal masyarakat mengenai keanekaragaman bidang kesehatan sangat besar, tetapi belum dimaksimalkan. Hal tersebut hidup di dalam komunitas dalam bentuk lisan dan naskah,” ujarnya.
Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO Surya Rosa Putra mengatakan, salah satu pembangunan yang melibatkan kearifan lokal adalah sistem pengairan di Kenya yang juga menjadi situs warisan dunia UNESCO. Mereka terbukti bisa menata siklus air sehingga tidak merugikan masyarakat sekitar.
”Pengelolaan sistem pengairan di sana melibatkan peran masyarakat sekitar. Sistem ini banyak diterapkan UNESCO untuk mengatasi kekeringan di banyak negara,” katanya.
Ketua Harian KNIU Kemdikbud Arief Rachman mengatakan, hubungan pembangunan nasional harus selalu diselaraskan dengan konservasi. Dalam kasus hutan hujan tropis di Sumatera, UNESCO memerintahkan untuk segera melakukan konservasi, promosi, edukasi, dan proteksi.
”Pembangunan tidak dilarang oleh UNESCO, tetapi pembangunan harus memperhatikan eksistensi daerah tersebut,” katanya.