Tanpa Terobosan Energi Terbarukan, Target NDC Sulit Dicapai
Oleh
Ichwan Susanto
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS– Target penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi yang mencapai 11 persen dari total 29 persen mustahil terpenuhi bila energi terbarukan tak digenjot. Potensi energi terbarukan yang besar namun belum memiliki keberpihakan regulasi dan harga menjadikan perkembangannya stagnan.
Di sisi lain, pemanfaatan energi terbarukan seperti angin, surya, panas bumi, dan biomassa bisa membantu penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang selama ini terbebani oleh pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar fosil. Kondisi saat ini malah seolah-olah listrik berbahan bakar fosil tersebut yang disubsidi pemerintah.
Paul Butarbutar, Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Rabu (21/8/2019) di Jakarta, mengharapkan pembangunan pembangkit listrik baru dipenuhi dari energi terbarukan. “Kenapa kita dahulukan batubara? Batubara itu sudah cukup pembangkit segitu,” kata dia dalam diskusi Pojok Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.
Kenapa kita dahulukan batubara? Batubara itu sudah cukup pembangkit segitu.
Saat ini energi terbarukan sulit bersaing dengan energi fosil karena ketiadaan keberpihakan regulasi dan harga. Sejak tahun 2017, kemunculan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 dan Nomor 50, tarif energi terbarukan dibuat 85 persen dari biaya pokok penyediaan (BPP).
Di sisi lain, penetapan BPP berdasarkan harga bahan bakar fosil. “Dengan ditetapkan harga energi terbarukan 85 persen maka (seolah-olah) energi terbarukan malah yang mensubsidi fosil,” kata dia. Kondisi itu membuat energi terbarukan kian mahal di samping modal teknologi relatif mahal, meski kecenderungan harganya mulai turun.
Paul menambahkan, energi terbarukan seperti panas bumi memerlukan investasi jangka panjang dan biaya tinggi. Karena investasi waktu yang dibutuhkan jangka panjang, hingga lebih dari satu dekade, perkembangannya sensitif terhadap risiko politik atau perubahan pengambil kebijakan.
Akibat perubahan pengambil kebijakan itu, hingga kini belum ada kebijakan proyek pengadaaan energi terbarukan skala besar. Di sisi lain, Kebijakan Energi Nasional mengamanatkan bauran energi 23 persen dari energi terbarukan pada 2025. Itu jauh dari kondisi saat ini yang baru mencapai 11,4 persen (Kompas, 24 Juni 2019).
Peningkatan bauran energi dengan waktu tersisa efektif lima tahun ini, kata Paul, memerlukan lompatan yang sangat tinggi dan terobosan yang serius dan konsisten. Bila tak dilakukan sejak kini, penurunan emisi GRK dari sektor energi pada komitmen (NDC) Indonesia di Kesepakatan Paris mustahil dilakukan.
Pada NDC, penurunan emisi GRK Indonesia 29 persen, sejumlah 11 persen diproyeksikan berasal dari sektor energi. Pada baseline (dasar penghitungan) tahun 2010, energi menghasilkan 453,2 juta ton setara karbondioksida. Pada 2030, emisinya diharapkan ditekan jadi 314 juta ton setara CO2.
Pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), baseline (dasar penghitungan) emisi gas rumah kaca pada 2028 diperkirakan mencapai 488 juta ton setara CO2. Dengan bauran energi dari energi terbarukan, emisinya diharapkan bisa ditekan jadi 351 juta ton setara CO2 atau berkurang 131 juta ton.
Paul mengatakan sampai sekarang belum jelas langkah-langkah penurunan emisi GRk dari sektor energi pada NDC. Bila pembangunan energi terbarukan tetap tak berubah atau tidak ada keberpihakan regulasi dan harga atau investasi, ia mengatkan target NDC dari sektor energi mustahil tercapai. “Kebutuhan terobosan radikal itu yang harus dilakukan kementerian ESDM,” katanya.
Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Emma Rachmawaty pun sepakat peningkatan pemanfaatan energi terbarukan memerlukan investasi pada teknologi. “Butuh dukungan dari otoritas fiskal,” ungkapnya.
Dari sisi penghitungan emisi, inventarisasi emisi GRK dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 pada energi ditargetkan penurunan emisi sekitar 38 juta ton. Sementara pada NDC mencapai 314 juta ton. Perbedaannya pada baseline atau acuan pengukurannya. Bila menggunakan Perpres 61, penurunan emisi energi pada tahun 2017 telah mencapai 33 juta ton setara CO2.
Editor:
evyrachmawati
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.