Aura Keemasan Kampoeng Laweyan
Kampoeng Batik Laweyan menyimpan kisah panjang kejayaan batik Laweyan pada era 1900-an. Rumah-rumah besar yang dulu dibangun dan dihuni para saudagar batik menjadi penanda masa keemasan itu. Kawasan ini menjadi destinasi wisata. Tak hanya untuk belanja, tetapi juga untuk menikmati sajian kuliner sembari meresapi suasana tempo doeloe.
Aura masa keemasan saudagar batik langsung terpancar begitu kaki melangkah memasuki Ndalem Gondosuli. Bangunan ini merupakan salah satu rumah yang dulu ditinggali saudagar batik. Rumah berlantai dua bergaya art deco itu dibeli oleh Heru Notodiningrat, pengusaha yang juga pemilik Batik Omah Laweyan.
Heru mengubah rumah yang dibangun tahun 1921 itu menjadi galeri dan edukasi batik, dilengkapi dengan Saudagar Coffee & Lounge, ruangruang pertemuan, dan art space. ”Ini rumah yang istilahnya loji (rumah besar), mercusuar saat itu,” kata Heru di Solo, Jawa Tengah, Kamis (1/8/2019). Sayang ia kehilangan jejak nama saudagar batik yang membangun rumah ini.
Heru melakukan revitalisasi dengan tetap mempertahankan orisinalitas bangunan. Ubin-ubin kuno dengan berbagai motif bak permadani di teras dan bagian dalam rumah dipertahankan keasliannya. Sebuah bungker di dalam senthong (kamar) bahkan bisa dilihat. Bungker itu ditutup dengan lantai kaca tebal.
Seperti tipikal rumah saudagar Laweyan umumnya, tata ruang rumah menggunakan konsep rumah Jawa. Pembagian ruang berupa pendapa atau ruang depan, ndalem atau ruang keluarga di bagian tengah, dan senthong. Beberapa ruangan lain yang cukup luas dimanfaatkan untuk ruang pertemuan dan workshop membatik.
Di halaman depan, pengelola menyediakan sejumlah kursi dan meja bagi tamu-tamu Saudagar Coffee & Lounge untuk menikmati aneka minuman kopi dan kuliner. ”Saya ingin memperkenalkan mengenai membatik. Nah, Saudagar Coffee tujuannya lebih untuk merangkul kaum milenial,” katanya.
Selain ngopi sambil menikmati makanan ringan ataupun berat, pengunjung juga bisa mengikuti kursus singkat membatik dengan durasi waktu dua jam di Ndalem Gondosuli. Pengelola juga menyediakan pilihan kursus intensif bagi yang berminat. Heru membuka Ndalem Gondosuli sebagai tempat edukasi budaya batik karena dilandasi keprihatinan semakin sedikitnya pembatik.
Ndalem Gondosuli, yang diluncurkan Oktober 2018, kini menjadi salah satu tempat favorit baru untuk nongkrong kaum muda di Solo. Anindya (32), salah seorang pengunjung, mengaku sangat tertarik dengan arsitektur Ndalem Gondosuli. ”Di sini yang paling menarik adalah tempatnya karena ada heritage yang indah dan anggun. Kalau sekadar untuk minum makan-makan atau ngopi, tempat lain juga banyak,” katanya.
Aura zaman keemasan saudagar batik Laweyan juga bisa dirasakan di Roemahkoe Heritage Hotel milik Nina Akbar Tandjung. Sebelum menjelma menjadi hotel, bangunan ini merupakan rumah yang ditinggali saudagar batik Poesposoemarto.
Nina menjaga dengan sangat baik otentisitas rumah besar bernuansa Jawa modern bergaya art deco yang dibangun tahun 1938 tersebut. Rumah ini juga mengadopsi pola tata ruang rumah Jawa, terdiri dari pendapa, ndalem, senthong, serta gandhok kanan dan kiri. Gandhok, yakni bagian rumah penunjang yang berada di samping atau belakang rumah utama, kini dimanfaatkan sebagai kamar-kamar hotel.
Sebagian perabotan di hotel ini merupakan peninggalan keluarga Poesposoemarto, seperti meja, kursi, lemari jengki, cangkir, dan kaca-kaca besar yang menempel di dinding. Barang-barang tersebut ditata apik sehingga atmosfer gaya hidup saudagar batik tempo doeloe terasa kental di Roemahkoe. ”Warna cat dinding bangunan pun sengaja dibuat mirip dengan aslinya,” katanya.
”Ngopi” dan wisata kuliner
Untuk menggenapi suasana Jawa klasik, Roemahkoe menyajikan menu masakan khas Solo, seperti lodoh pindang dan nasi jemblung. Ada sajian minuman es kawis yang biasa disebut kola dari Jawa. Es ini berasa manis dengan sensasi rasa unik dilengkapi cincau. ”Banyak tamu dari Belanda senang menginap di sini karena merasakan nostalgia, suasana Jawa tempo dulu,” ujarnya.
Di bagian barat Kampoeng Batik Laweyan, ada tempat ngopi dan resto bagi anak muda, Hierarchy. Resto ini menempati rumah bergaya indis, perpaduan tradisional Jawa dengan sentuhan kolonial Belanda, yang dulu ditinggali saudagar batik Atmowikoro di Jalan Sidoluhur.
Usaha ini dikelola oleh anak-anak muda dari Jakarta. ”Kami menyewa rumah ini selama lima tahun,” kata Manajer Operasional Hierarchy, Ifran Prayudi Nazhar.
Sebelum Hierarchy, rumah ini dimanfaatkan sebagai tempat kuliner, yakni wedangan Rumah Nenek. Irfan mengatakan, Hierarchy sengaja membidik lokasi Kampoeng Batik Laweyan karena nama besar Laweyan. Apalagi, ada rumah-rumah kuno yang bisa disulap menjadi coffee shop dan resto dengan suasana cozy.
Ada menu sop buntut, selain nasi goreng, spageti, dan beragam racikan minuman kopi. Nama-nama minuman unik, contohnya Bajak Laut yang merupakan campuran cokelat, kopi, rum, dan susu. Ada juga Pulau Kulon yang berbahan cokelat, kacang mede, karamel, kopi, dan vanila. Hierarchy buka mulai sore hingga dini hari. ”Kami ingin menghidupkan suasana Kampoeng Batik Laweyan di malam hari,” ujarnya.
Gerai batik
Di Kampoeng Batik Laweyan banyak terdapat gerai batik beragam merek. Mampir di rumah Batik Mahkota milik keluarga Alpha Febela Priyatmono, selain bisa membeli batik berbahan pewarna alami, pengunjung juga bisa belajar membatik. Tak sedikit pengunjung dari mancanegara belajar membatik di sini.
Alpha tengah menyiapkan museum batik mini di lantai dua rumah Batik Mahkota. Bangunan bertingkat tersebut terbuat dari kayu. ”Dulu bagian loteng (lantai dua) dipakai untuk menjemur kain-kain batik,” kata Alpha yang kini menjadi Ketua Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan.
Menurut Alpha, yang juga dosen Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah, Surakarta, rumah-rumah di kawasan Kampoeng Batik Laweyan terbagi menjadi dua tipe, yaitu rumah saudagar batik dan rumah pekerja. Rumah saudagar memiliki luas 1.000-5.000 meter persegi. Dari sisi arsitektur, umumnya mengadopsi model indis dan art deco.
Walaupun dipengaruhi arsitektur Barat, rumah para saudagar batik di Laweyan tetap menganut pola tata ruang Jawa. ”Bentuk atau model rumah bisa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman. Yang tidak berubah adalah pola tata ruangnya,” katanya.
Ciri khas lain adalah semua rumah menghadap ke utara ataupun selatan karena tidak ingin menyamai bangunan inti Keraton Surakarta yang menghadap ke arah timur. ”Dari sisi arsitektur rumah, dengan menghadap ke utara dan selatan, rumah jadi tidak panas,” katanya.
Menurut Alpha, sebelum dikembangkan sebagai kawasan wisata Kampoeng Batik Laweyan, perubahan bangunan rumah-rumah kuno cenderung kurang terkendali. Setelah menjadi kawasan wisata, sebagian rumah bersejarah yang dulunya dihuni para saudagar direvitalisasi menjadi restoran, homestay, hotel, dan gerai batik. ”Revitalisasi mendukung konsep Kampoeng Batik Laweyan sebagai kawasan wisata,” ujarnya.
Bisa dibilang, pariwisata membantu upaya preservasi bangunan kuno. Dengan demikian, bangunan-bangunan itu bisa lestari sebagai warisan dan tonggak sejarah bangsa.