JAKARTA, KOMPAS—Hingga kini, Warga RT 20 RW 017 Kelurahan Penjaringan, atau yang dikenal sebagai Kampung Gedong Pompa di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, masih mengandalkan air bersih yang dijual menggunakan jeriken-jeriken. Cuaca kering selama musim kemarau ini meningkatkan pengeluaran untuk membeli air, mengingat selama musim penghujan sebagian rumah tangga bisa memanfaatkan air tanah.
Ketua RT 20 RW 017 Penjaringan Nurrachman mengatakan, sebagian besar dari 800 keluarga (sekitar 1.600 jiwa) di wilayahnya bisa mendapatkan air tawar dari tanah, sedangkan sebagian kecil sepenuhnya bergantung pada air hasil membeli, baik kemarau maupun musim hujan, karena air tanah di tempat tinggal mereka asin.
Kondisi ini dipicu belum masuknya jaringan air perpipaan ke Gedong Pompa. “Selama 18 tahun saya di sini, belum pernah tersambung air perpipaan, padahal ada dua pipa air seukuran paha melintas di sini,” ucap Nur di Jakarta, saat ditemui Kamis (22/8/2019) kemarin.
Ia termasuk yang memiliki sumur air tanah di rumahnya. Jika musim hujan, keluarganya tetap membutuhkan air hasil pembelian tetapi air tanah membantu mereka menghemat air yang dibeli.
Namun, hampir dua bulan terakhir, Nur, istri, dan kedua anak mereka sepenuhnya bergantung pada air hasil membeli karena air tanah menyusut dan pompa tidak mampu lagi menarik air dari sumur. Jika biasanya mereka bisa menggunakan delapan pikul (160 liter) air seharga Rp 28.000 untuk sepekan, kini jumlah sebanyak itu habis dalam tiga hari.
“Itu belum termasuk untuk kebutuhan mencuci (baju),” ujarnya.
Keluarga Nur berarti mengeluarkan Rp 280.000 per bulan untuk memenuhi kebutuhan air. Pengeluaran tersebut setara dengan biaya listrik yang dibayar dia setiap bulan untuk kebutuhan keluarga di rumah.
Sementara itu, warga Gedong Pompa yang tinggal di pinggir laut, Yanti (42), mengatakan, tempat tinggalnya termasuk area dengan kualitas air tanah buruk. Dengan demikian, ia dan suami serta empat anak mereka tidak merasakan perbedaan antara musim hujan dan kemarau, karena setiap saat selalu membeli air pikulan.
“Dulu pernah ada yang mengebor di sini, tetapi airnya asin. Ga jadi bikin sumur,” tutur dia.
Yanti menghitung, pengeluaran keluarganya untuk air sekitar Rp 1,5 juta per bulan. Mereka enggan memanfaatkan air hujan di musim penghujan karena kualitas airnya juga tidak bagus, terlihat dari warnanya yang kekuningan.